Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis, SMPIT - SMAIT Irfani Quranicpreneur Bilingual School

Hujan Abadi

 


Hujan Abadi

Penulis : Tyara Khumaira Azzura

 

 “Bukannya hujan itu rahmat ya, Nek?” tanya seorang gadis kecil yang sedang menemani Neneknya berbaring di ranjang Rumah sakit. Ia melihat ke arah jendela betapa lincahnya air berjatuhan mengguyur Kota Tsurui. “Iya bener, kenapa gitu?” tanyanya balik. Sang Nenek heran melihat cucunya yang tiba-tiba bertanya hal tersebut.

    “Enggak Nek, Tata cuman nanya doang kok!” gadis kecil itu bernama lengkap Ruita Ame. Ditinggal saat masih balita oleh Ayah dan Ibu memang cukup menyakitkan bagi anak yang belum tahu apa-apa. Terlebih hanya ditemani Kakak dan Nenek.

     Ruita melihat ke arah jendela, ia dikejutkan oleh air yang melompat layaknya ikan. “Hah? Itu apa?” monolognya. Gadis kecil itu kemudian menggelengkan kepala menyangka itu hanyalah sugesti biasa.

      Ruita teringat sesuatu, “Kenapa kalo Tata liat hujan, suka keinget Ibu? padahal Tata lupa muka Ibu kayak gimana,” Ruita bertanya dengan mata birunya yang memancarkan aura kesedihan. Melihat cucunya tengah bersedih, Nenek mencoba untuk menenangkannya, “Nanti Nenek ceritain Ibu, ya?” Mengelus rambut cucunya lalu ia bergumam, “Semoga Tuhan masih memberiku umur panjang.”

 

***

        Beberapa tahun kemudian

 a  Ruita memandang sedih ke arah batu nisan milik Nenek nya, gadis itu mendongak ketika merasakan air hujan yang menyentuh kening nya. Ia menghembuskan nafas gusar, "Huh.. hujan lagi?" Ruita mengarahkan tangannya ke arah langit, meremasnya, seolah sedang menangkap air itu.

      "Semenjak Nenek ga ada, jadi sering hujan. Kayaknya alam tau kalo Nenek nya Tata udah gak ada, bahkan Nenek belum sempet nyeritain Ibu. Tau gak? Abang pergi juga Nek, dia takut sama kota ini." Perasaan Ruita becampur aduk. Antara kesal, sesal, marah, geram bercampur menjadi satu. Gadis itu terisak.

    Isakan gadis tersebut semakin kuat seiring berjalannya waktu dan juga hujan yang semakin deras mengguyur kota tersebut.

   Setelah hujan mulai mereda, Ruita mencoba berdiri guna merilekskan badannya yang pegal akibat duduk terlalu lama tanpa ampar. Gadis itu menyapukan pandangannya ke sekitar pemakaman tersebut, dilihatnya seorang lelaki sedang berjongkok menghadap kuburan yang entah itu milik siapa. Saudaranya mungkin? pikirnya.

  Membulatkan tekad, gadis itu menghampiri ke arah lelaki tersebut. Ditepuknya pundak lelaki itu, dan ia dikejutkan dengan penampilannya, yang mungkin agak.. kurang enak dipandang? rambut yang acak-acakan, mata sembap, dan baju yang tidak layak untuk dipakai. "Hai? nama lo siapa?" tanya Ruita dengan raut wajah khawatir. Lelaki itu hanya menggeleng, "It's okay kalo lo gak mau jawab, gue boleh tau rumah lo dimana?" tanyanya lagi. Ternyata Ruita masih tetap tidak diberi jawaban. Gadis itu menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh milik lelaki misterius disampingnya.

     "Lo seumuran sama gue gak sih?" tanyanya lagi dan lagi.

  "Mungkin." lirih lelaki yang sedang mencabut rumput liar yang tumbuh disekitar batu nisan yang ada dihadapannya. Ruita mengembangkan senyumnya dikarenakan pertanyaan yang ia lontarkan berhasil dijawab meski singkat. Kedua insan itu saling terdiam dengan pikiran masing-masing, sampai...

     "Ayo, ikut gue ke rumah!" ditariknya pergelangan tangan lelaki tersebut dan berjalan keluar dari area pemakaman.

 

***

 

    Sesampainya di kediaman Ame, gadis itu langsung menuju ke arah dapur untuk mengambil air putih, bukan untuk dirinya. Melainkan untuk lelaki misterius itu.

      "Nih, minum dulu. Gue tau pasti lo capek, kan? maaf, rumah gue emang rada jauh." tawarnya sembari menyodorkan segelas air putih.

    "M-makasih." jawabnya, setelah menerimanya, lelaki itu langsung meminum isinya hingga tandas. Ruita mendudukkan bokongnya didekat manusia yang ia tak kenal siapa. Dengan rasa penasaran yang tinggi, Ruita mencoba menanyakan 'lagi' nama lelaki itu, tak lupa seraya mengulurkan tangan milik gadis tersebut tentunya.

    "Maaf, nama lo siapa? biar lebih enak aja kalo mau manggil."

    "Norman." lirihnya, tanpa menerima uluran tangan Ruita.

    "Emm.. salam kenal ya? gue Ruita Ame, manggilnya gimana?"

    "Sesuka lo." Ruita dibuat bingung oleh jawaban Norman. Tapi tak apa, bagi orang yang baru kenal pastinya canggung bukan? "Mau gue anter ke kamar?" ajak Ruita sembari menarik pelan pergelangan tangan Norman, dan ya! lelaki itu menerimanya.

  Setelah diantar ke kamar, Ruita segera menyiapkan makan malam dikarenakan bulan sebentar lagi akan menampakkan wujudnya. Saat semuanya sudah siap, saatnya gadis itu memanggil 'teman baru' nya yang sedang istirahat sejenak di kamar milik Kakaknya, mencapai anak tangga terakhir, Ruita mendengar suara barang terjatuh.

  BRAK..

"Kayaknya barang gede." Ruita mempercepat langkah menuju kamar, saat membuka pintu ia terkejut lantaran tubuh Norman sedang tidak ditutupi apapun, alias telanjang. "AAAAAA!!" pipi Ruita berubah merah layaknya udang rebus, ditariknya handle pintu sampai membuat suara yang memekakkan indra pendengar. Norman yang melihatnya hanya bisa memasang raut wajah bingung. "Apaan sih? cuman mau ngambil baju doang, btw bajunya bagus, pasti punya Abang nya" ucap Norman.

   Disisi lain, ada gadis yang sedang menahan malu di dapur, tiada lain dan tiada bukan ialah Ruita Ame. Gadis itu sibuk dengan pikirannya yang sedang berkelana jauh, "Astaga.. mata gue masih sehat kan? malu banget sumpah, gimana gue bisa makan sama dia? masa gue makan duluan sih?" gadis itu meremas bajunya kuat hingga terlihat kusut. Ruita menoleh saat ia mendengar ada yang memanggil namanya, "Ruita." panggil lelaki dengan sebutan Norman itu.

   Norman melangkahkan kakinya mencari keberadaan Ruita, "Y-ya? apa Norman?" jawabnya gugup. "Laper," ujarnya. "Ayo m-makan yuk!" Ruita menghampiri Norman yang berjarak beberapa meter dari tempat ia berdiri, diraih tangan dingin Norman untuk menghampiri meja makan, mereka duduk, membaca do'a sesuai kepercayaan masing-masing, dan memakan makanan yang tersedia tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring.

   Setelah makan malam, waktunya untuk bersantai bukan? tapi itu berlaku hanya untuk orang-orang biasa, tidak berlaku untuk kedua insan ini, mereka duduk di sofa dan saling melempar pandang satu sama lain tanpa ada seorangpun yang memulai obrolan.

   Sampai tiba saatnya untuk Norman memberanikan diri memulai percakapan.

 "Ruita?"

 "Hm?" gadis itu menoleh saat Norman memanggilnya.

 "Gue tau tujuan lo bawa gue kesini. Lo mau ngajak gue bikin rencana, kan?"

Tepat sasaran! Ruita terlihat panik tapi memang benar gadis itu berniat untuk merancang rencana dengan lelaki ini, dan sialnya ia dibuat kaget dengan tatapan nya yang tidak biasa. Nerawang masa depan, ya? batinnya. Gadis itu akhirnya angkat tangan tanda menyerah.

  "Tau dong? yah.. kalah, tapi gak apa. Lo mau kan bikin rencana sama gue?" gadis itu mengangkat alis sembari melemparkan senyuman miring, senyuman yang dapat menghipnotis jiwa Norman. Lelaki itu tercengang beberapa detik sampai ia menggelengkan kepala mencoba untuk sadar.

   Setelah itu, Norman menganggukkan kepala guna menyetujui tawaran Ruita.

"Bisa, tapi sebelumnya gue pengin tau tentang hidup lo. Boleh?" soalnya gue pengin tau langsung dari mulut lo tanpa tau dari kekuatan gue, sambungnya dalam hati. Ruita menghembuskan nafas dan mulai bercerita.

"Jadi, bisa dibilang gue terlahir dari keluarga yang 'ada', tapi keluarga gue gak lengkap. Ayah sama Ibu meninggal karena kecelakaan pas mau nganter gue ke Posyandu. Abang gue pergi karena takut sama kota ini yang sering hujan, Nenek gue meninggal karena penyakit sialan. Namanya penyakit jantung iskemik."

  Ruita menahan tangis, untung saja gadis itu langsung mengusap air matanya. Ruita menoleh ke arah Norman, "Lo?" lirihnya, Norman tersadar dari lamunannya, "Oh ya! g-giliran gue ya?" lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Yaudah mulai.. Jadi gue terlahir dari keluarga yang kurang 'ada', gue tinggal di kampung, bonyok gue sering berantem dan gak pernah akur, kenapa bonyok gue gak cerai aja coba? gue dianggurin terus, dikasih makan pun jarang. Gue pernah ngeluh karena gak ada makanan di meja, terus bokap gue nyuruh gue buat nyuri, miris ya? dan yang lo liat tadi siang di pemakaman itu, itu Adik gue. Dia meninggal karena nolongin nyokap yang mau ditusuk." Norman bercerita seperti tidak ada kesedihan didalam ucapannya itu. Tak terasa mereka saling bertukar cerita sampai pukul satu dini hari, dirasa sudah mengantuk Ruita bangkit dari duduknya.

  "Besok aja kita bahas rencananya. Oh!, lo tidur di kamar yang tadi. Selamat malam."

final gadis itu, dan melenggang pergi meninggalkan lelaki tersebut. Norman mengangguk, "Selamat malam juga, Nona."

 

***

 

Sinar matahari mulai mumunculkan diri, waktunya untuk membangunkan para manusia yang tengah sibuk dengan mimpinya masing-masing. Ruita terbangun dikarenakan gorden kamarnya dibuka oleh seseorang dan Norman-lah pelakunya. Gorden yang dibuka oleh Norman membuat sinar matahari memaksa untuk masuk guna mambangunkan Sang Putri Tidur.

  Gadis itu mengerjapkan mata berkali-kali seraya menguceknya. Norman menoleh ke arah Ruita yang terlihat lucu dengan muka bantal yang gadis itu ekspresikan.

  "Lucu." lirihnya, tentu saja Ruita tidak mendengarnya karena suara yang Norman keluarkan teramat pelan. "Norman.." Norman tak menggubriskan panggilan dari Ruita lantaran tengah sibuk melipat selimut dan membereskan bantal bekas pakai Ruita.

  Norman meraih tangan Ruita untuk mengajaknya berdiri, Ruita hanya menurut saja  karena malas untuk berbicara, dan kantuk yang terus mencoba untuk menutup matanya.

"Ayo bangun, gue udah buatin onigiri. Lo pasti suka." ajak Norman, Ruita mengangguk sebagai jawaban.

  Setibanya di Dapur, Norman menuntun Ruita untuk duduk di kursi yang telah tersedia disana, lalu Ruita disodorkan segelas air putih untuk menyegarkan tenggorokan sebelum makanan yang terlebih dahulu masuk. Ruita menerimanya lalu meminumnya dengan mata yang masih tertutup rapat. "Udah jam delapan, dan lo masih merem? gue di Rumah bangun jam lima pagi buat nyiapin makan Adik gue sama bonyok gue, walaupun kadang gak disentuh sama sekali. Dan sekarang gue mau nyobain rasanya makanan buatan gue buat dimakan sama orang lain, meskipun itu bukan keluarga gue sendiri." kantuk yang menyerang Ruita sirna begitu saja ketika mendengar penuturan yang Norman lontarkan. "Nih. Kalo mau lagi, tinggal bawa aja." onigiri yang telah dibuat sedemikian rupa ditambah sepasang mata yang terbuat dari rumput laut tersebut berhasil memancing rasa lapar gadis yang tengah menatap meja makan itu, setelah berbincang santai, keduanya melahap onigiri yang menjadi sarapan kedua manusia yang berawal asing dan dingin, telah menjadi kenal dan hangat antar keduanya. Onigiri itu habis tak tersisa didalam piring khas penduduk Jepang tersebut.

"Abis ini lo mandi, terus kita ke cafe deket sini. Kita bicarain rencananya disana." titah Ruita. Norman membalasnya dengan anggukkan sembari memamerkan senyumannya. "Siap Putri."

   Sesudah mereka menyelesaikan acara membersihkan tubuh, keduanya langsung memasuki mobil milik Ruita dan pergi meninggalkan rumahnya dengan dipenuhi kenangan tersebut.

 

***

 

Hanya butuh 30 menit saja untuk sampai di cafe tersebut, cafe dengan bertuliskan 'Lamp Caffe', tentu cafe itu dipenuhi lampu remang-remang, menambah kesan tenang. Tempat yang pas untuk mengerjakan tugas atau sekedar berbincang. Kedua insan itu duduk di bagian pojok guna pembahasan mereka yang bersifat rahasia ini tidak ada yang mendengar.

   "Jadi gimana?" tanya Norman.

   "Mau mesen dulu, bentar." Norman menghembuskan nafas mendengarnya.

   "Ya, sana. Pesenin juga buat gue." Ruita mengangguk sebagai balasan. Mereka memesan menu yang sama, yaitu Sakura tea. Hanya beberapa menit menunggu pesanan mereka, keduanya menunggu sembari membahas hal yang tidak penting, seperti saat di perjalanan, Ruita melihat kucing yang sedang meminta makanan di warung, anak bebek yang menyeberangi jalan, dan lain-lain yang mampu membuat mereka tertawa.

  Sakura tea sudah berada di meja mereka, saatnya mereka membahas rencana yang akan membuat energi keduanya terkuras saat mengerjakan rencana tersebut.

   "Gini, gue pgn berhentiin hujan ini, kayak nya udah banyak yang mulai pergi dari kota ini deh, gimana caranya? masa kita harus ke dunia Dewa Dewi dulu?" Ruita memulai pembicaraan dengan serius.

   "Gak usah, gue takut kalo kita kesana, malah di musnahin hahahaha. Gue gak tau cara ngomongnya." Norman menanggapinya dengan candaan, gadis itu kemudian mencubit lengan Norman, membuat lelaki itu mengeluarkan ringisan kecil, bukan cubitan biasa batinnya. "Serius Norman!" Ruita dibuat kesal oleh tingkah Norman yang seolah-olah tidak menghargai Ruita saat di mode serius. Norman tersenyum kikuk kala melihat mimik wajah kesal Ruita, lalu Norman mencoba menerawang masa depan dengan kekuatannya, Ia hanya melihat sebuah Kuil. dan itu adalah Kuil tertua di Jepang, bernama Kuil Gango-Ji. "Cuman ada Kuil Gango-Ji yang gue liat, kita harus kesana." ajak Norman. Ruita mengangguk samar, terlihat dari raut wajahnya yang kusut akibat jarak dari tempat mereka dengan jarak Kuil itu sangatlah jauh, ditambah hujan deras yang sedang melanda kota tersebut, tapi Norman berusaha untuk membujuk Ruita dan meyakinkan dirinya bahwa tidak akan ada salahnya jika mencoba untuk kesana, karena lelaki itu tahu bahwa kekuatannya tidak akan meleset, bahkan belum pernah ada kejadian dimana kekuatan menerawang masa depan milik Norman itu meleset sedikit atau pun salah.

   Norman mencoba menghibur gadis yang sedang cemberut itu dengan mengelus pucuk kepalanya, Ruita merasa lebih baik dari sebelumnya. Setelah itu, Norman menarik pelan pergelangan tangan yang terasa mungil bagi lelaki itu. "Ayo kita kesana, gantian aja nyetirnya, gue pernah di ajarin bawa mobil. Gak usah takut, ya?" bujuk Norman, Ruita tersenyum lalu mengangguk, "Iya, harus janji." gadis itu mengulurkan jari kelingking nya lalu diterima oleh Norman, mereka menautkan kedua jari kelingking tersebut. Setelah itu, mereka pergi membayar dan langsung melanjutkan perjalanan.

 

***

 

Perjalanan memakan waktu kurang lebih dua jam, dan giliran Norman yang mengambil alih setir mobil, mungkin yang Norman pikirkan saat ini mengenai mimik wajah Ruita adalah lelah, dan pegal.

  Tibalah mereka di sebuah kuil tertua di Jepang, untung saja tidak ada orang banyak yang sedang mengunjungi nya. Mereka keluar dari mobil dan melangkah mendekati kuil itu berada. Tatapan Ruita teralihkan saat melihat ada seekor rubah ekor sembilan dengan warna bulu keemasan itu berjalan menghampiri keduanya, alangkah terkejutnya ia saat melihat rubah itu berubah menjadi seorang wanita cantik dengan kimono yang melekat di tubuh ramping miliknya.

   "Selamat datang di Kuil Gango-Ji, ada perlu apa?" tanya wanita rubah itu dengan suaranya yang amat lembut.

   "Kami ingin memanjatkan do'a, apakah masih beroperasi Kuil ini?" Norman mewakili Ruita yang hendak berbicara, gadis itu berdecak malas dibuatnya.

   "Tentu saja! biar saya antar." wanita rubah itu berjalan mendahului Norman dan Ruita, mengundang banyak tanda tanya di benak mereka. Sesampainya di dalam kuil, mereka dihidangkan segelas uroncha atau kerap disebut oolong tea.

   "Sebelum kalian berdo'a, lebih baik kalian meminum uroncha terlebih dahulu, silahkan." Norman dan Ruita saling melempar pandangan sebelum meminum teh tersebut. Gelas yang tadinya berisi uroncha, sekarang sudah habis ditelan kedua insan itu, "Uroncha-nya the best lah! gak bohong gue," Norman memberikan komentar positif seraya menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah terangkat seperti huruf V. Wanita Rubah itu terlihat senang, ia mengambil gelas kosong dari genggaman Norman dan Ruita untuk disimpan ke nampan tempat asal gelas itu diletakkan. "Silahkan panjatkan do'a kalian, pasti Kami-sama akan langsung mengabulkannya, saya pamit dulu." Pamit wanita rubah tersebut, dan segera meninggalkan tempat Norman dan Ruita berdiri saat ini.

  "Semoga do'a kita dikabulkan." telapak tangan Norman menyatu, tanda berdo'a dimulai, Ruita mengangguk dan melakukan hal yang seharusnya dilakukan saat datang ke Kuil. Mereka berdo'a dengan tujuan yang sama, yaitu menghentikan hujan yang terus menerus turun ke kota itu.

  Kami-sama, tolong berikan saya kekuatan untuk menghentikan hujan ini, semoga usaha saya dan gadis di samping saya tidak sia-sia. Kami mohon, Kami-sama.. Batin Norman, lelaki itu berdo'a sembari sesekali melirik ke arah Ruita, gadis itu juga terlihat sangat serius, membuat Norman terkekeh kecil dibuatnya.

  Lima menit terasa lima jam bagi mereka di dalam kuil itu, saat mereka ingin keluar dari kuil tersebut, terlihat ada secercah cahaya menghampiri, mereka berfikir itu adalah kedatangan wanita rubah yang tadi, ternyata bukan.

  Ruita mencoba menangkap cahaya tersebut yang sedang berputar-putar mengelilingi mereka. Saking cepat Ruita mengejar, semakin cepat pula cahaya itu menjauh, membuat Norman dan Ruita pusing melihatnya.

  "Apaan sih? cahaya nyusahin!" Ruita meninju udara dengan perasaan kesal.

  "Sabar, siapa tau kalo lo diem, nanti cahayanya berhenti." saran Norman.

Ternyata benar apa yang Norman ucapkan barusan, belum lama setelah itu cahaya yang sedang berputar seketika berhenti di hadapan mereka, cahaya tersebut berubah menjadi bola air.

  Saat Norman ingin menyentuhnya, bola air itu lagi-lagi berubah menjadi seekor naga air. Mereka tentu saja terkejut, Norman menyenggol lengan Ruita. "Naga?" tanyanya tak percaya saat melihat fenomena ini. Keringat gadis itu bercucuran, ditambah dengan perasaan takut, Ruita menggeleng menjawab pertanyaan yang Norman lontarkan. "Gak tau, takut Man." jawabnya seraya meremas ujung pakaian yang sedang dikenakan oleh Norman.

  Naga tersebut memberi isyarat kepada Norman dan Ruita untuk menungganginya. Norman terlihat santai saat hendak menaiki punggung naga itu. Namun tidak dengan Ruita, gadis itu ketakukan melihat sosok naga yang besar dan mungkin menyeramkan?

  Norman menghembuskan nafas, lelaki itu mengulurkan tangan yang dibalas tatapan tidak yakin yang dibuat Ruita. "Kalo jemping, gimana?" Norman menggelengkan kepala seraya terkekeh melihat raut wajah Ruita yang menurutnya lucu, "Kok bisa mikir gitu? enggak lah! kayaknya ini cara Kami-sama nolong kita. Gue yakin." lelaki tersebut meyakinkan Ruita dengan cara menatap mata gadis itu yang berkaca-kaca, "Jangan takut." Norman berbisik tepat di telinga kanan Ruita, membuatnya merinding ketika mendengar suara berat yang lelaki dihadapannya ini keluarkan.

  Norman memanfaatkan momen yang ada dengan mengangkat tubuh mungil gadis itu untuk duduk didepannya. "Biar cepet." ujarnya, Ruita yang diangkat seperti itu tentu kaget atas tingkah Norman, "Nyebelin!" gadis itu memukul-mukul lengan kekar milik Norman.

  Dirasa sudah lama drama yang membuat naga ini menunggu, barulah Norman menepuk sisi punggung naga itu, "Ayo, kita berangkat." naga itu mengangguk lalu keluar dari Kuil dan terbang perlahan ke arah langit, terlihat percikkan air yang dikeluarkan oleh naga tersebut. "Ke langit? ngapain?" Ruita berbalik dan bertanya kepada Norman, "Liat aja, semoga ini pertanda baik."

  Mereka tiba di langit, naga itu menurunkan mereka di awan, lalu pergi dari sana. Norman dan Ruita berfikir mereka akan jatuh saat menapak awan, ternyata dugaannya salah. Awan yang menjadi pijakkan, terasa seperti kapas dengan jumlah banyak ketika diinjak.

  Tak jauh dari tempat mereka berdiri, mereka melihat ada berbagai tombol terbuat dari awan, Norman melirik ke arah Ruita dan mengangguk, gadis itu membalasnya dengan anggukkan yang sama. Mereka berlari ke arah tombol itu.

  Setelah sampai, Ruita kagum melihat berbagai macam tombol di hadapannya, "Ohh, ini cara setting cuaca?" monolognya, "Ternyata disini tombol 'hujan' nya gak di matiin, jadinya hujan terus." pikir Norman, jemari Norman terulur untuk menekan tombol 'cerah' disamping tombol 'hujan' itu.

  Satu menit berlalu dan hujan pun mereda dibawah sana. Keduanya menghembuskan nafas lega karena usaha nya tak sia-sia. Norman mengajak Ruita untuk melakukan tos, dan gadis itu menurutinya. "Good job!" ujar keduanya kompak. Kedua manusia itu tertawa lepas karena bahagia.

  Setelahnya, Norman berlutut dihadapan Ruita dengan raut wajah kemerahan menahan malu. Lelaki itu mengulurkan tangan dengan membawa bunga mawar yang terbuat dari awan, dia mengumpulkan sedikit demi sedikit awan yang mereka lewati saat di perjalanan menuju kemari.

   "Gue.. gue mau ngucapin terima kasih sebanyak-banyaknya sama lo, lo udah ngebantu gue, bahkan sampai di titik ini. Gue pengen lo jadi partner gue. Partner gue buat mecahin segala teka-teki kisah kita nanti." ungkap lelaki tersebut. Ruita tercengang mendengarnya. Dengan tangan yang gemetar, gadis itu menerima bunga mawar tersebut dan menggenggamnya erat.

  "Seharusnya gue yang berterima kasih ke lo, Emm, gue.. mau jadi partner lo. Walau pertemuan kita singkat, mungkin akan menjadi pertemuan yang bersejarah. Semoga saja." Mungkin bagi kalian, cara bertemu mereka itu sedikit konyol. Namun bagi mereka, terutama Norman, ia bisa mendapatkan kehangatan dan kebersamaan walaupun bukan dari keluarga sendiri. Hidup akan berputar layaknya roda, akan ada saatnya kita berada diatas, di puncaknya. Dan itu yang sedang dirasakan keduanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar