Do'a Taqwa dan Ragam Jawaban-Nya

Penulis : Irfan Soleh


Guru-guru kami berpesan bahwa setidaknya ada tiga tujuan dari lembaga pendidikan Pesantren yaitu mencetak Ulamaul Amilin, Imamul Muttaqin dan Muttaqin, sehingga do'a yang sering kita panjatkan pada Allah SWT adalah menjadi Ulama yang mengamalkan ilmunya, imamnya orang-orang yang bertaqwa dan paling tidak jadi apapun kita dalam ruang kehidupan harus menjadi orang yang bertaqwa. Do'a tersebut terus kita panjatkan namun bagaimana ketika kita atau putra putri kita meskipun sudah dimasukan ke pondok pesantren masih sering melakukan kemaksiatan, akhlaqnya masih berantakan jauh dari ketaatan dan kebaikan yang notabene ciri dari ketaqwaan? Mari kita bahas perspektif Syeikh Ibn Athoillah Assakandari dalam kitabnya al hikam


Ibnu Atho’illah As-Sakandari dalam hikmah keenam berkata Janganlah karena keterlambatan datangnya pemberian Allah kepadamu, saat engkau telah bersungguh-sungguh dalam berdoa, menyebabkan engkau berputus asa; sebab Allah telah menjamin bagimu suatu ijabah (pengabulan doa) dalam apa-apa yang Allah pilihkan bagimu, bukan dalam apa-apa yang engkau pilih untuk dirimu; dan pada waktu yang Allah kehendaki, bukan pada waktu yang engkau kehendaki. Hikmah tersebut mengajarkan pada kita sesusah apapun menjadi orang yang bertaqwa, jangan pernah berhenti berdo'a kepada-Nya, kita tidak punya daya hanya sebatas ikhtiar semata, tetaplah berbaik sangka dan jangan pernah berputus asa


Orang-orang Arifin menganalogikan alam ini seperti tanah yang dipenuhi tumbuhan berduri. Kadang durinya besar-besar dan banyak sehingga sulit dilalui dan bisa melukai. Kadang durinya kecil-kecil sedikit dan mudah dihilangkan. Demikian pula sifat-sifat jiwa, ada yang sangat buruk dan berjumlah banyak sehingga untuk menghilangkannya membutuhkan waktu lama dan perjuangan panjang. Ketika kita berdo'a agar istiqomah dalam ketaqwaan namun masih saja sering tergelincir dalam kemaksiatan, terus berjuang meskipun memakan waktu lama bahkan sampai habis usia. Perjuangan istiqomah dalam ketaqwaan memang tidak mudah tetapi yang terpenting adalah jangan sampai kita menyerah, maksimalkan ikhtiar sambil berserah kepada-Nya yang Maha Pemurah


Kesimpulannya ketika kita berdo'a pada Allah SWT meminta agar dijadikan orang yang bertaqwa, yang taat pada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, namun ternyata kita masih saja tergelincir pada larangan-Nya, terus saja berdo'a, ikhtiarkan semampu kita jangan pernah putus asa, begitupun ketika kita mendo'akan putra putri kita karena menginginkan mereka menjadi orang yang bertaqwa kemudian berikhtiar memondokan memesantrenkan putra putri kita, namun ternyata belum sesuai dengan harapan kita, jangan malah menjelekan lembaga pendidikannya, atau malah menyalahkan Tuhan karena merasa do'a belum mendapat jawaban tetapi teruslah berikhtiar dengan cara jangan berhenti berdo'a jangan berhenti memondokan putra putrinya dan yakinlah pada Allah SWT bahwa do'a kita akan diijabah pada waktu yang terbaik menurut-Nya bukan menurut kita dengan cara-Nya bukan cara kita, semoga kita semua tidak lelah berproses berjuang menjadi Ulamaul amilin, Imamul Muttaqin dan minimal Muttaqin, semoga...Amin...


Hotel Mercure, 29 September 2023

IBP, IGT dan Internationalisasi Pesantren


IBP, IGT dan Internationalisasi Pesantren

Penulis : Irfan Soleh


Ide dan gagasan menerjemahkan kitab kuning kedalam bahasa inggris terus kami lakukan, saat ini kami sudah menerjemahkan kitab safinah, kitab riyadul badi'ah, kitab tijan darori, tafsir jalalain juz 1 sampai juz 3, shorfiyyah dan yang terakhir kitab taqrib. Kemudian mind mapping kitab kuning juga sudah dan terus kami susun diantaranya tasyjirul qorib fi tashili taqrib dan on progress syarah ibn aqil alfiyyah ibn malik. Para santri juga sekarang banyak yang menulis cerpen, artikel ilmiah dan novel. Penerjemahan kitab kuning kedalam bahasa Inggris ada kaitannya dengan impian kami menjadikan santri mengglobal dan internationalisasi pesantren. dari mana ide internationalisasi pesantren muncul? apa tahapan ikhtiar yang kami lakukan?

Ide internationalisasi pesantren muncul ketika penulis memandu acara majlis masyayikh di Miftahul Huda Manonjaya. Salah satu slide yang menjelaskan rencana induk majlis masyayikh menjelaskan bahwa target di tahun 2026 adalah ingin menjadikan pesantren sebagai bagian dari pendidikan dunia. didalamnya terdapat beberapa poin diantaranya adalah dialog international dan piloting pesantren dunia. Target di rencana induk tersebut tentu harus disambut baik oleh kalangan pesantren karena majlis masyayikh yang notabene menginginkan mutu pesantren semakin baik punya alasan kenapa pesantren harus mendunia, dampaknya harus terasa pada tataran global.

Ikhtiar yang kami lakukan di Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis adalah pertama kami terus berupaya menerjemahkan kitab kuning kedalam bahasa inggris yang kami namakan sebagai kitab kuning metode irfani kemudian secara bertahap kami buat standar dimana para santri tidak hanya dituntut baca kitab kosongan dan menerjemahkan dalam bahasa sunda dan indonesia namun juga para santri harus bisa menerjemahkan dan menjelaskan dalam bahasa inggris. infrastruktur kitab bilingual metode irfani tentu sangat membantu. seiring terjemahan kitab kuning bahasa inggris terus bertambah akhirnya kami buat penerbitan sendiri yang kami namakan Irfani Book Publisher (IBP), upaya-upaya diatas mengerucut pada ikhtiar internationalisasi pesantren.

Para santri yang telah mengenyam pendidikan enam tahun dan telah mempelajari kitab kuning bilingual metode irfani harapannya mereka bisa kuliah, menimba juga mengamalkan ilmu mereka ke berbagai negara. sehingga mereka bisa merasakan dakwah pada tataran global, ikut aktif terlibat memberikan solusi pada permasalahan dunia. Akhirnya kami membuat Irfani Global Travel (IGT), travel ini fokusnya pada islamic and edu travel, travel yang menjembatani para santri yang mau melanjutkan kuliah ke luar negeri. Para santri yang sudah di didik kitab kuning dan bahasa Inggris bisa mendakwahkan kitab karya para ulama tersebut ke berbagai negara. Impian santri mendunia atau santri mengglobal atau internationalisasi pesantren sekarang sudah berubah menjadi rencana dan ikhtiar aksi nyata, Semoga Allah SWT memberi kemudahan dan kelancaran, Amin...


Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis, Minggu 24 September 2023

Impian Terakhirmu; Ibu


 

Impian Terakhirmu; Ibu

Penulis : Nurul Azkia

 

 

  CKITTTTT

  BRAKK

  “AYAAAAAHHH!…”Mataku melotot,dadaku bergemuruh,dengan sekuat tenaga aku dan ibuku berlari kencang menghampiri ayah yang sudah tergeletak di jalan dengan darah yang melumuri sekujur tubuhnya.

   “REZAAA!!”ibuku berteriak histeris memanggil nama lelaki yang sangat ia cintai-ayahku.Ibuku terduduk lemas sembari membawa kepala lemah ayahku ke pangkuannya”R-Reza..kamu harus bertahan.. kita ke rumah sakit sekarang juga..”dengan suara yang gemetar ibuku berusaha untuk tetap terlihat tegar.

   “S-Sriii.. a-aku sudah t-tidak kuat lagi,j-jaga putri k-kita dengan b-baik..uhukk uhukkk”dengan sisa tenaganya ayahku berusaha mengatakan kalimat kalimat terakhirnya,sebelum ia mengeluarkan darah dari mulutnya dan..

   “R-Ree i-ini es krimmu…”tangan ayahku terjatuh di pangkuanku, dengan satu buah es krim rasa strawberry yang masih utuh “AYAAAHHHH!..i-ibuu,ayah?,ayah kenapa buu?ayah gak bakal kenapa kenapa kan ?”aku berteriak histeris,sebelum aku bertanya pada ibuku bahwa ayah tidak akan kenapa kenapa,namun nihil ibuku hanya menjawab pertanyaanku dengan gelengan lemah,matanya tidak bisa berbohong,mata yang memancarkan bentuk kehilangan yang mendalam “Re,Rere harus bisa ikhlas,ayah sudah kembali ke pangkuan sang kuasa”tangan gemetar ibuku mengelus pipiku yang terkena cipratan darah dengan lembut,sebelum kami bertiga berpelukan di ampar jalan,masa bodoh dengan orang orang yang semakin lama semakin banyak mengerumuni kami,kami berdua menangis sejadi jadinya karena sudah tidak tahan lagi dengan situasi saat ini.

    Seakan semesta ikut merasakan apa yang kami rasakan,awan berubah menjadi gelap dan perlahan mulai menitikkan air ke permukaan tanah,rintihan hujan yang semakin deras bersaamaan dengan itu juga air mata kami turun dan merosot dari tempat seharusnya,seperti derasnya hujan saat ini.mata indah ibuku mengeluarkan cairan bening bernama airmata itu dengan sangat banyak.

 

   Beberapa saat lalu

 

  Aku ,ibu,dan ayahku sedang duduk santai di pinggiran taman kota,kami banyak berbicara,bertukar cerita,dan bercanda tawa,sebelum pada akhirnya aku melihat sebuah mobil mewah terparkir di sebrang jalan,di bukanya pintu mobil tersebut dan keluarlah seorang gadis kecil cantik yang ku pikir sepertinya dia seusiaku,gadis itu menggunakan baju yang sangat indah,ia keluar bersama seorang lelaki berjas dan wanita berpakaian kasual feminim yang ku pikir dia adalah orangtua gadis tersebut.mereka memasuki toko yang bertuliskan ‘ICE CREAM!’,di dalam sana aku melihat mereka saling melempar tawa satu sama lain,mungkin jika di bandingkan keadaanku dengannya itu sama ,namun dengan garis takdir yang berbeda. Jika mereka pergi ke sini dengan menggunakan mobil mewah maka aku hanya sebatas jalan kaki dan sesekali di gendong ayahku,jika baju mereka terlihat sangat indah dan mewah di sini aku hanya memakai baju seadanya.’Sungguh menyedihkan’ kataku.

  Keluarga dengan beda kasta tersebut keluar dari toko es krim dengan bahagia,dari dulu aku sangat menginginkan hal itu ,membeli es krim bersama ayah dan ibuku sepertinya,dengan tidak aku sadari ayahku memperhatikanku sejak tadi “Re,sayang kamu mau es krim seperti dia juga?”tanya ayahku padaku,dengan polosya aku hanya mengangkuk mengiakan.Ayahku merogok sakunya dan mengluarkan uang satu satunya di sakunya sebesar dua puluh ribu.”Yasudah ayah pergi ke sana dulu ya,ayah akan membelikan es krim untukmu,anak ayah yang cantik ini jangan sedih lagi ya”ucap ayah ku lembut seraya mengusap lembut puncak kepalaku “iya ayaah,Rere pengen yang rasa strawberry ya yah” ucapku kegirangan,ayahku hanya membalasnya dengan anggukan kecil dan senyum tulus nya.

   Setelah itu ayahku pun berlalu meninggalkan ku dan ibuku untuk membeli es krim yang aku inginkan,seling beberapa menit ayahku keluar dari toko tersebut sembari melambai lambai kan tangannya yang menggenggam es krim strawberry,ia melirik ke kanan dan ke kirinya sebelum ia melangkahkan kakinya ke jalanan,tapi tiba tiba saat ia sedang berjalan di tengah jalan ada sebuah mobil besar dengan kecepatan tinggi menubruk badan ringkih ayahku.dan…

   CKITTTTT

   BRAKK

 

 

11 tahun kemudian

 

 

    "Huhh.. sialaan mimpi itu lagii"Rere terbangun dari tidurnya,dadanya bergemuruh kencang,tangannya bergetar,keringat bercucuran di dahinnya,ia memeluk kedua lututnya dan sesekali mengacak rambutnya frustasi,Rere menenggelamkan wajahnya di kedua lututnya.Tidak, ia tidak menangis,ia kesal pada ayahnya yang sudah meninggal itu karena selalu mendatanginya lewat mimpi, arwahnya gentayangan,pikirnya.

     "Ayaahhh! bisa gak sii jangan ganggu Rere muluu, Rere capek ngebayangin kejadian itu terus!"Rere berteriak frustasi, membayangkan dirinya saat kejadian sebelas tahun silam,ia sangat ketakutan, rasa bersalah itu kembali menghantuinya, rasa menyesal karena telah meminta es krim sialan itu kembali menyerang pikiran dan perasaan nya.

     Sebelas tahun bukanlah waktu yang singkat, namun untuk melupakan kejadian itu rasanya begitu sulit bagi Rere,kejadian saat itu meninggalkan banyak luka dan trauma baginya."Re,kamu kenapa nak? kenapa teriak teriak seperti ini?"tanya Sri-ibu Rere yang tiba tiba saja masuk dan langsung mengelus puncak kepala putrinya dengan lembut,ia merapihkan rambut putrinya yang acak acakan,helai perhelai ia selipkan ke belakang telinga putrinya dengan penuh kasih sayang "ambil air wudhu dulu yuk nak,setelah itu cepatlah laksanakan sholat subuh,supaya hatimu tenang. Rere juga harus pergi ke sekolah bukan?" ucap Sri penuh dengan kelembutan. Rere mendogak dan melihat jam dinding yang terpajang di kamarnya yang menunjukan pukul 05:54, Sri tersenyum tulus melihat respon putrinya "ayok biar ibu bant-"ucapan Sri terpotong saat tiba tiba Rere melempar selimut nya asal. "Iiihh ibu ibu rempong, masih pagi loh inii, udah ceramah aja! ibu bisa gak sih, gak usah nasehatin aku kayak anak kecil gitu, akutuh udah gede gak usah di atur atur, lagian aku juga bisa ke wc sendiri" setelah mengatakan itu Rere beranjak dari tempat tidurnya dan pergi meinggalkan ibunya menuju kamar mandi dengan kaki yang sengaja di hentak hentakan supaya ibunya menyadari betapa marah dirinya.

   Rere menutup pintu kamar mandi dengan kasar, melihat hal itu Sri hanya bisa bersabar sambil mengelus dada, jika di tanya apakah Sri marah dengan perlakuan putrinya yang seperti itu? tentu saja ia marah namun yang bisa ia lakukan hanyalah bersabar menghadapi sikap putrinya yang keras kepala. Ia mengenal jelas watak putrinya, jika api bertemu dengan api maka api akan semakin besar dan tidak akan ada ujungnya, hal itulah yang membuatnya terus mengalah.

                   

***

                  

      Remaja dengan paras cantik itu sudah siap dengan seragam putih abunya, rambut kuncir kuda dan kulit bening sawo matang serta badan yang ideal itu terlihat pas untuk remaja seusianya, membuat semua orang yang melihatnya tidak akan akan berfikir dua kali untuk melihat latar belakangnya yang kekurangan. "Buu!!! ibuu ihh mana uang jajan Rere!!" teriak gadis itu dari luar rumahnya, tidak lain dan tidak bukan ia adalah..Rere.

     Sri keluar dari rumah tersebut dengan gresak grusuk, ia mengeluarkan selembar uang berjumlah sepuluh ribu dari kain serut yang ia sebut dompet itu. Ia tidak memiliki uang lagi untuk hari ini,ia hanya memiliki sisa uang dua puluh ribu, sepuluh ribu ia berikan pada putrinya dan sepuluh ribunya ia simpan untuk membeli kebutuhan rumah untuk hari ini ,itupun jika cukup.

      "Hah? sepuluh ribu?" ia tersenyum meremehkan, sebelum akhirnya ia kembali berucap "ibu kira sekarang masih jaman nabi adam nabi idris? sepuluh ribu sekarang cukup buat apaan bu elaahh? ongkos Rere berangkat naik angkot itu tiga ribu belum pulangnya, jadi enam ribu.Jangan bilang ibu nyuruh aku buat jajan empat ribu? empat ribu kebeli apaa?" setelah panjang lebar ia mengatakan kata demi kata yang tajam,layaknya panah. Sri hanya bisa tertunduk dalam "tapi nak, i-ibu tidak memiliki uang lagi" ucap Sri dengan suara lirih, ia mengeluarkan sepuluh ribu berikutnya dengan maksud menjelaskan keperluannya. "ini untuk kebutuhan hari ini,untuk maka-"ucapan Sri terpotong saat dengan cepat Rere mengambil uang itu, "naahh ini ada, lain kali jangan di umpet umpetin gitu dong bu ahh" ucapnya sebelum beranjak pergi dari pekarangan rumah kecilnya tanpa berpamitan atau sekedar bersalaman pada sang ibunda.

     Sri masih mematung di tempatnya, ia masih tidak percaya dengan perlakuan kasar sang putri beberapa menit lalu. Ya tuhan mengapa Engkau ambil gadis kecil periangku,yang ada di hadapan ku beberapa saat lalu seperti bukan putriku yang ku kenal Tuhan, mengapa ia begitu kasar padaku, Engkau bawa pergi kemana putriku yang selalu khawatir dengan keadaanku, aku begitu merindukannya Tuhan..lirihnya di dalam hati sebelum...

   

Tes

 

 Cairan bening yang berusaha ia tahan sejak tadi sudah tidak terbendung lagi, hatinya sakit ketika putrinya berperilaku seperti itu, dadanya bergemuruh, bahunya naik turun menahan isakan. Ia berlalu dari tempatnya tadi untuk masuk kedalam rumah dengan perasaan kecewa, sangat kecewa.

   

***

 

   "Assalamualaum warrahmatullah.."

   Sri baru saja menyelesaikan sholat dhuhanya, ia mengusap wajahnya dengan syahdu sebelum ia mengadahkan tangan pada yang kuasa, lagi lagi air mata kembali turun membasahi pipi yang sudah tidak kencang lagi itu, ketika mengingat perlakuan demi perlakuan yang sudah putrinya lakukan padanya, yang jauh dari kata baik, sangat jauh.

     "Ya Allah yang maha kuasa, hanya pada-Mu lah hamba meminta, hanya pada-Mu lah hamba mencurahkan keluh kesah hamba, hikss... setelah Engkau mengambil satu orang yang sangat hamba cintai, apakah Engkau juga akan kembali mengambil orang yang juga hamba cinta dan sayangi? mungkin iya, raga nya Kau titipkan di dunia, namun kenapa kepribadiannya sangat berbeda? ia begitu kasar padaku Tuhan..hikss..hikss"ucapannya terpotong saat dadanya terasa begitu sesak untuk sekedar menarik nafas, tangannya bergetar, hatinya tidak berhenti bergemuruh. Ia berdiri dan sedikit berjalan untuk mengambil sesuatu di dalam lemarinya. Ia kembali terduduk di sajadah yang tadi ia gelar, tangannya kembali mengadah pada yang kuasa.

       "Ya allah berikan lah hamba-Mu yang lemah ini porsi hidup yang lebih panjang, hamba ingin merubah apa yang seharusnya di ubah terlebih dahulu Ya Allah, ampunilah segala dosa hamba Ya Allah, segala dosa almarhum Reza, dan segala dosa putri hamba ya Allah...Rabbana hablana min azwaajina wa dzurriyyatinna qurrota a"yun wajja"alna lil muttaqiina imaama, amiin "

 

***

 

    "Buu!! ibuuu, ibu dimana sii ih gue laper bangett" teriak Rere, ia baru saja pulang dari sekolahnya, ia mencari ibunya di setiap penjuru rumahnya, tibanya ia di ambang pintu kamar sang ibunda, ia membuka dengan kasar pintu tersebut, matanya langsung di sambut oleh sang ibu yang tengah tertidur tenang di atas sejadah dengan balutan mukena yang masih lengkap."Ya ellahhh ini ibu ibu malah tiduran begini, bukannya siapin makanan buat anaknya yang baru balik sekolah" gerutunya. Ia berjongkok dengan maksud akan membangunkan sang ibu, namun saat tangannya akan menyentuh ibunya, matanya terlebih dahulu teralih pada selembaran ketas yang berada di tangan ibunya.

   Dengan gerakan perlahan ia membawa kertas tersebut dan kata demi kata yang tertera pada kertas itu ia baca dengan seksama, membulat sempurna, ia terkejut dengan isi dari selembaran kertas itu, sangat terkejut.

    "Efusi perakardium?..penumpukan cairan pada jantung..stadium akhir."

    Tes

   Air mata yang sudah lama tidak lagi keluar dari mata nya itu tiba tiba keluar tanpa aba aba, ia membekam mulutnya menggunakan tangannya sendiri untuk tidak memunculkan suara suara yang akan membangunkan ibunya, dadanya bergemuruh kencang, tangannya bergetar, badannya melemas, ia menatap kertas yang ia genggam dan sang ibu secara bergantian, ibunya terlihat begitu damai dalam tidurnya, wajah cantik yang dulu selalu memancarkan kebahagian, sekarang sudah terganti oleh wajah yang penuh dengan kerutan, mata indah itupun sudah tertutupi dengan mata sayu berkantung, ibuku, katanya dalam hati.

     Ia berlari ke luar rumah tanpa arah, ia ingin menangis, menangis sejadi jadinya. Kecawa, kesal, sedih semua bercampur menjadi satu, ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia kesal pada dirinya yang selalu membentak dan memperlakukan ibunya dengan tidak baik, ia kecewa pada dirinya sendiri yang tidak peka akan situasi, seharusnya ia peka akan ibunya yang selalu mengeluh akan dadanya yang sering terasa nyeri dan kesulitan bernafas, kaki dan tangan yang kadang tiba tiba membengkak, berjalan dengan sempoyongan. Dan ia sedih akan kondisi ibunya sekarang, sangat, sangaat sedih.

     "AARRGGHHH.. gue pusiingg.. hiks hikss"

     "Ya Tuhannn, jika sudah seperti ini saya harus bagaimanaa, Tuhaann!!" ia terjatuh di pinggiran jalan yang sepi, ia menangis sejadi jadinya sambil memeluk erat kedua lututnya, bahkan untuk saat ini ia tidak berani untuk sekedar menatap wajah ibunya, ia menyayangi ibunya, sangat sayang. Namun untuk menyatakan hal itu gengsinya terlalu tinggi, selama ini ia berprilaku seperti itu bukan karena ia tak menyayangi ibunya,namun..ia kesal, selalu kesal, saat melihat wajah ibunya, ia selalu mengingat dimana ketika Rere meminta agar Sri menikah kembali supaya ekonomi mereka membaik Sri menolaknya "ibu tidak ingin menikah kembali nak, yang ibu cintai hanyalah Reza, ayahmu. Cinta ibu sudah habis di dirinya, ibu meminta maaf untuk keinginanmu yang satu ini, ibu tidak bisa menurutinya" hal itulah yang membuat Rere bersikap tidak baik pada ibunya, mungkin niatnya baik, namun caranya yang salah.

     "Saya harus bagaimana Tuhaan!"ia berteriak teriak di pinggiran trotoar sambil sesekali menjambak rambutnya. Ia hilang arah.

 

                                  

***

     

       Tok tok tok

      Sri berjalan ke ambang pintu untuk membukanya, betapa terkejut dirinya saat melihat putri semata wayang nya begitu terlihat acak acakan. Baju yang tadinya berwarna putih  bersih sekarang menjadi putih kecoklatan karena kotor, rok abu abu nya pun banyak bagian yang sobek dan terdapat beberapa noda darah yang mengering di sana, ia tertunduk lesu.

      Dengan perlahan Sri mengangkat dagu putrinya, ia menangkup kedua pipi gadis yang sangat ia sayangi itu, dengan lembut ia mengusap perlahan air mata yang turun mengenai pipi sang gadis. "Sayang, ada apa dengan mu-" belum saja selesai dialog yang akan Sri katakan tapi Rere sudah terlebih dahulu memeluk dirinya dengan erat, sangat erat, pelukan hangat ini.. pelukan hangat inilah yang Rere butuhkan, bahkan ia tidak ingat kapan terakhir kali ia memeluk ibunnya seperti ini, Rere tidak munafik, ia merindukan pelukan ini, ia merindukan ibunya.

    Sri terkejut bukan main saat mendapatkan perilaku gadisnya yang sangat tiba tiba seperti ini, ia mengerti dengan perasaan putrinya saat ini, yang membuatnya memilih diam dan lebih memilih untuk menenangkan sang putri terlebih dahulu, ia tidak mau membuat kondisinya semakin parah, ia mengusap pelan puncak kepala putrinya dengan lembut, dan di sisi lain Rere semakin mengeratkan pelukannya, pertahanannya seketika rubuh dengan mudah, air mata yang sedari tadi ia tahan mati matian pun kembali terjun bebas tanpa aba aba, ia kembali menangis, tangisan yang menggambarkan bentuk penyesalan yang mendalam.

    Setelah di rasa cukup tenang Sri mengaping tangan Rere untuk di bawa duduk bersama di dalam rumah, Rere masih belum saja mendongak dan menatap mata sang ibunda. Dengan hati hati Sri pun bersuara "ada apa? kenapa kamu baru pulang? sekarang sudah jam

20:46, sudah malam nak, ibu begitu mengkhawatirkan mu" Rere mendongak tak percaya, ia terkejut dengan kalimat terakhir yang ibunya katakan begitu mengkhawatirkan mu katanya, "bahkan ketika keadaannya sedang jauh dari kata baik, ia tetap menghkawatirkan ku?" ucap Rere dalam hati.

      "Yang seharusnya bertanya itu Rere bu, ada apa? ibu menyembunyikan sesuatu dari Rere?"pada akhirnya Rere mengngkat suaranya.

       "Menyembunyikan sesuatu?" beo Sri "tidak" jawabnya sembari menggeleng meyakinkan "bahkan ibu tidak menyembunyikan uang sedik-"

       "Bukan soal uang bu...tapi tentang keadaan ibu, Rere tahu ibu sedang tidak baik baik saja.." ucapannya terpotong saat air mata yang tadinya sudah mereda kembali turun dengan begitu deras "j-jantung ibu, jantung ibu..terendam cairan?stadium akhir?" mata Sri membulat ketika mendengar penuturan putrinya, namun beberapa saat kemudian Sri kembali menetralkan ekspresinya, ia tersenyum pada sang putri "apakah itu yang membuatmu menjadi seperti ini?" tanyanya lembut seraya mengelus pucak sang putri. Rere mengangguk lesu mengiakan.         

        “Terimakasih nak, karena sudah mengkhawatirkan keadaan ibu, ibu tidak apa apa, lihatlah sekarang ibu  baik baik saja bukan?” Sri menggantung ucapannya, Rere masih terdiam dan hanya mendengarkan kata demi kata dan kalimat demi kalimat yang ibunya katakan padanya. “tidak perlu mengkhawatirkan keadaan ibu sampai segitunya nak, malah ibu akan sakit jika  melihat dirimu yang seperti ini sayang" ucap Sri dengan lembut dan penuh dengan kasih sayang. "yang harus kamu ketahui, ibu sangat menyayangimu nak, sangat menyayangimu.."  Sri menarik sang putri untuk ia masukan kedalam pelukannya, ia kembali mengelus puncak kepala putrinya, cairan bening itu kembali terjun dari mata indahnya. Ia sudah tidak tahan lagi, ia begitu merindukan putrinya yang dulu dan sekarang seolah tuhan mengabulkan doanya, Rere kembali dengan keperibadiannya yang dulu.

         Rere membalas pelukan ibunya tak kalah erat. Ia juga sangat menyayangi ibunya namun untuk mengatakannya, ia terlalu gengsi.." R-Rere juga s-sayang ibu, sayang sekali" pada akhirnya ia pernyataan kasih sayangnya meluncur dengan sempurna, masa bodoh dengan gengsinya itu, ia sudah tidak peduli lagi. "Maafkan Rere bu, maafkan Rere yang selama ini bersikap pada ibu dengan buruk, sangat buruk, dan jauh dari kata baik, Rere menyesal bu, Rere  tahu kesalahan Rere selama ini terlalu banyak hingga Rere pun sadar jika kata maaf sebanyak apapun yang akan Rere ucapkan tidak akan mengubah apapun, tapi Rere benar benar meminta maaf pada ibu" Rere mengatakan kata maaf dengan sangat lancar, namun matanya pun tidak bisa berbohong air matanya pun ikut mengalir selancar ucapan yang ia ucapkan, ia menyatakan kata maaf nya dengan sangat tulus, ia begitu menyesal.Namun apa boleh buat, penyesalan selalu datang di akhir, bahkan dengan berjuta juta kata maaf pun tidak akan pernah bisa mengubah apa yang sudah terjadi.

    "Bahkan sebelum kau meminta maaf, ibu sudah memaafkanmu nak, ibu sangat menyayangimu sayang" setelah mengatakan itu satu kecupan mendarat di kening sang putri, diiringi dengan air mata yang terus saja keluar walau sudah ia tahan mati matian.

    "Rere juga sayang ibu"

     Cup

    satu kecupan Rere berhasil mendarat di kening sang ibu.

                       

***

 

       Tok tok tok

      "Iya Re, masuk saja sayang pintunya tidak ibu kunci" setelah sang ibu berkata seperti itu, Rere perlahan membuka pintu kamar ibunya dengan hati hati, ia berjalan mendekati sang ibu yang sedang terduduk di pinggiran ranjang, sang ibu yang melihat itupun menepuk nepuk tempat di pinggirnya, bermaksud agar Rere duduk di dekatnya. Rere yang mengerti akan maksud ibunya pun duduk di pinggir ibunya, ia menatap setiap sudut di ruangan yang ibunya sebut sebagai kamar itu, ruangan yang kecil nan sempit, penuh dengan barang, ranjang nya pun seperti sudah tidak layak pakai lagi.

     "Ada apa sayang?oh iya kamu tidak keluar untuk bermain bersama teman temanmu untuk.. apa itu namanya?hipli..hipli-"

      "Healing bu" ucap Rere membenarkan.

      "nah itu,,hip..hip..aaahh pokoknya yang itu. Kenapa kamu tidak keluar?biasanya kamu kan keluar ketika malam minggu seperti ini"

      "Hehe enggak dulu bu, Rere mau di sini aja sama ibu. Tujuan Rere ke sini, ada sesuatu yang ingin Rere bicarakan sama ibu"

      "Apa itu?katakanlah nak, katakan apa yang ingin kau katakan"

      "Keputusan Rere udah bulat Rere mau putus sekolah, Rere mau bantu ekonomi kita bu, Rere mau bantu ibu cari uang, Rere mau ibu berobat lebih lanjut"

      "Re, bukan kah ibu selalu katakan padamu, jangan pernah berfikir untuk memutuskan pendidikanmu selagi ibu mampu untuk membiayaimu, urusan rezeki biarlah Allah yang mengurusnya. Yang ibu inginkan hanyalah menjadikan anak ibu satu satunya ini menjadi wanita yang berpendidikan, wanita yang memiliki pendirian, wanita yang selalu di pandang, karena ibu sendirilah yang merasakan betapa sulitnya menjadi seseorang yang tidak memiliki banyak ilmu, ibu tidak mau kau merasakan apa yang ibu rasakan, anak ibu ini harus bahagia, meskipun kelak, entah kapan, sang kuasa akan memanggil ibu kau harus terus bahagia nak, lanjutkan sekolahmu, turutilah apa kata kata ibu ini, untuk ibu, untuk ayah, untuk dirimu sendiri juga"ucap Sri panjang lebar. Dadanya terasa sesak, jantungnya tiba tiba berdetak tak beraturan, namun di hadapan putrinya ia tidak mau memperlihatkan betapa sakitnya menahan penyakit yang ia iadap, ia menahan rasa sakit itu.

   Rere yang sejak tadi tidak berani menatap awjah sang ibunda kemudian mendongak "yaudah kalo itu yang ibu mau, Rere bakal terus sekolah"

  "Naaah gitu doong, ini baru anak ibu"

   "iya bu"

   "Re, boleh kah ibu meminta agar kau tidur di sini saja untuk malam ini? temani ibu"pintanya pada ssang putri.

  "Boleh kok bu, malam ini biar Rere temani ibu"

  "Terimakasih nak"

   "Tentu bu"

                                                         

***

 

     "Re, ibu apakah kau tahu, ibu memiliki impian yang harus kau wujudkan"

     "Apa bu?"

     "Ibu ingin melihat mu menjadi seorang sarjana nak"

    "Tapi bu, ibu emang yakin kalo Rere bisa kuliah, dengan ekonomi kita yang seperti ini"

    "Yakin, ibu yakin tidak ada yang mustahil bagi Allah nak, jika Allah berkehendak maka Allah akan membuatmu menjadi apa yang kamu mau, yang harus kamu lakukan hanyalah percaya pada yang kuasa, percayalah jika Allah itu ada di setiap langkah dan kesuksesan mu"

    " iya ibu, insyaallah Rere usahakan"

    "Re ibu sudah mengantuk, ayok tidur"

    "iya bu Rere juga ngantuk"

    "yasudah ayok kita tidur, jangan lupa baca doa terlebih dahulu sayang"

    "iya bu, bissmikaallah humma ahya wabismika ammuut, aamiin"

    "aamiin"

                      

***

       

    Rere terbangun dari tidurnya karena cahaya terik matahari yang menusuk mata gadis itu, ia menatap sang ibu yang masih tertidur pulas dipinggir nya, dengan posisi yang masih sama seperti tadi malam, memeluk nya. Gadis itu dengan perlahan menurunkan tangan sang ibu, ia bergegas pergi ke dapur untuk memasak, niatnya akan membangunkan sang ibu ketika makanannya sudah siap.

   Hari ini adalah pertama kalinya ia berada di dapur unuk memasak, Rere memasak nasi goreng dengan susah payah, ia mengingat ngingat resepnya saat ia lupa langkah perlangkah membuat nasgor. Dan pada akhirnya, masakan nya pun jadi, ia sengaja membuat dua piring nasgor, untuknya dan untuk ibunya.

   Dengan langkah antusiasnya, ia pergi ke kamar sang ibunda dan membangunkannya untuk sarapan bersama. Dengan perlahan ia membuka kenop pintu tersebut, di lihatnya sang ibu yang sedang menutup matanya dengan damai, ia mengelus pelan bahu ibunya.

   "Buuu, bangun dulu yuk bu, kita sarapan bersama, aku sudah memasak dua piring nasi goreng, untuk aku, untuk ibu..untuk kita"ucapnya dengan lembut.

   Tak kunjung ada respon apapun yang ibunya keluarkan saat Rere membangunkannya, Rere bingung, apakah ibunya begitu kecapeannya,? tak menyerah ia terus mengusap bahu dan puncak kepala sang ibu dengan lembut.

     "Bu ayok bangun dulu, Rere tahu ibu kecapean tapi perut ibu kosonng dari kemarin, makan dulu yuk bu, mumpung nasi nya masih panas, nanti kalo udah makan ibu gapapa kok kalo mau tidur lagi"

     tetap tidak ada respon apapun

    Rere sedikit mengguncang bahu sang ibu, namun tetap tidak ada respon, hingga ia melihat tidak ada pergerakan apapun dari sang ibu, bahkan untuk sekedar mengambil nafas, ia panik bukan main, sampai pada akhirnya ia berinisyatif untuk mengecek denyut nadi sang ibunda, dan...

     "Inalillahi wainna ilaihirroji'un" kata pertama yang ia ucapkan sebelum akhirnya ia menjerit histeris "IBUUU!!! gak.. gak mungkin kan?ini mimpi kan bu? ibu cuman lagi bobo aja kan? ibu jawab dong ucapan Rere dong bu, jangan kayak gini buu..hiks"

     "kita masih banyak mimpi yang belum di wujudkan kan bu..,ibu mau lihat Rere wisuda sarjana kan? makanya ayok bangun dulu bu,...hiks hikss bu Rere mohon buu, Rere masih belum bisa bikin ibu bahagia, jangn dulu sekarang buu"

      "IBUU..."

      Air matanya sudah turun dengan deras sejak tadi. Ibunya sudah tertidur dengan nyenyak, tidak ada lagi suara lembut yang akan menenangkannya, tidak ada lagi Sri yang akan mengeluh kesakitan, Rere mendongak dan melihat wajah sang ibu yang terlelap damai, ia sudah tiada, ibunya sudah tidak bernyawa. Rere menatap nanar sang ibunda. Ibunya sudah tidak kesakitan lagi, sudah tidak tersiksa lagi dengan kehidupan yang sangat jahat padanya itu. ibunya sudah berada di tempat yang paling indah di sisi tuhan.

    Semoga ibu bahagia di atas sana bu, kelak Rere akan mewududkan impian terakhir ibu.

                                              

***

 

         Wajah cantik dengan sedikit polesan itu terlihat sangat bahagia, wajahnya berseri seri, senyumnya yang tak pernah pudar itu terus terpampang jelas di wajah cantiknya, badan ideal yang di baluti dengan kebaya berwarna hitam terlihat begitu pas dan elegan di badannya, membuat dirinya semakin terlihat menarik di mata semua kaum, ia Rere.

     Hari ini adalah hari kelulusannya sebagai mahasiswa, setelah hari ini, akan ada gelar yang tercantum di depan namanya, Aqira Resti Putri S.Sn, nama yang indah.

     Setelah namanya di panggil oleh seseorang di balik mikrofon sebagai wisudawan terbaik matanya melotot sempurna, sebelum pada akhirnya ia menaiki panggung dengan perasaan bangga pada dirinya sendiri karena telah bisa sampai pada titik sejauh ini. Senyum yang tidak pernah pudar itu terus ia ulas di wajah cantiknya, situasi di seperti ini membuat dirinya gugup, namun rasa gugupnya kalah dengan rasa harunya pada dirinya sendiri, perlahan ia menarik nafasnya dalam dalam, sebelum pada akhirnya rangkaian kata demi kata yang tiba tiba saja muncul di benaknya keluar dengan sendirnya.

         "Assalamualaikum wr wb, halo semuanya.. perkenalkan saya Aqira Resti Putri lulusan sarjana seni, sebelumnya saya mengucapkan banyak terimakasih kepada bapak ibu dosen yang saya hormati, saya juga sangat berterimakasih pada teman teman saya, yang selalu mendukung dan mengsuport saya, sehingga saya bisa sampai pada di titik sejauh ini" ia menjeda ucapannya saat merasa dadanya begitu sesak saat mengingat impian terakhir sang ibu yang ingin melihatnya berdiri di depan banyak orang layaknya hari ini.

           "ehh.. sebelumnya saya ijin bercerita sedikit tentang bagaimana saya bisa sampai di titik ini" ia menarik nafas sebelum akhirnya ia melanjutkan ucapannya "berdirinya saya di sini bukan tanpa alasan, melainkan berdirinya saya di sini untuk memenuhi sebuah impian. Impian ibu saya, seharusnya di hari ini ibu saya adalah orang yang paling bahagia, karena impian untuk melihat anaknya menjadi sarjana sudah terpenuhi, seharusnya ibu saya, ada di sini.. di pinggir saya, menemani saya dan berbicara pada kalian semua" ucapannya terjeda saat tiba tiba air matanya meluncur tanpa intruksi, ia menarik nafasnya dalam dalam sebelum akhirnya kembali melanjutkan ucapannya "berdirinya saya di sini adalah impian pertama dan terakhir yang pernah ibu saya ucapkan pada saya, dan lihatlah sekarang, saya di sini, tapi ibu? ibu sudah terlebih dahulu di panggil sang pencipta sebelum melihat impiannya yang sudah terwujud, dulu, saya tidak yakin untuk melanjutkan pendidikan saya karena keadaan ekonomi yang buruk, namun ibu selalu meyakinkan saya untuk terus maju dan menjadi wanita yang berpendidikan tinggi, ibu selalu bilang bahwa saya harus percaya pada yang kuasa, tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Dan sekarang saya membuktikan perkataan yang ibu saya katakan, berdirinya saya di sini, sebagai wisudawan terbaik dengan beasiswa, selama saya menuntut ilmu di universitas ini, saya tidak mengeluarkan uang se peser pun. Haha ini sangat lucu, Tuhan memberikan segala cara agar saya sampai di titik ini, di titik impian ibu saya." suara riuh tepuk tangan menyambut indra pendengarannya saat ia mengakhiri kalimat terakhirnya dengan bangga. Semua orang yang ada di sana merasa takjub padanya, semuanya ikut menitikkan air mata ketika untaian kalimat demi kalimat yang yang Rere ucapkan beberapa menit lalu.

 

***

     

          Sekarang di sinilah ia berada, dengan pakaian yang sama. Menemui seseorang yang selama lima tahun ini ia selalu rindukan. Matanya memandang gundukan tanah yang selama ini ia anggap sebagai tempat peristitahatan terakhirnya, makam sang ibunda.

          Ia duduk bersipuh di pinggir makam tersebut, tangannya ter ulur untuk membersihkan makam sang ibunda yang sedikit tertutupi rumput, Rere menutup matanya sejenak untuk menetralkan pandangannya yang memburam karena air mata yang menumpuk di pelupuk matanya, tangannya mengusap batu nisan itu dengan lembut.

          "ibuuu.. selamat sore bu, gimana keadaan ibu di sana? pasti ibu udah gak kesakitan lagi kan bu? dadanya udah gak sesek lagi kan? Rere yakin, di sana Allah pasti akan memberikan ibu tempat ternyaman, tempat dimana ibu gak bakal ngerasain lagi perihnya dunia, tempat yang selalu membuat ibu bahagia dan tersenyum hingga ibu lupa bagaimana caranya menangis, maaf Rere baru bisa ke sini dan jenguk ibu lagi sekarang, soalnya selama tiga bulan ke belakanng Rere sibuk banget nyusun skripsi" ia menjeda ucapannya dan mengusap gusar air mata yang sempat turun tanpa aba aba. Rere mengeluarkan cake birthday berukuran kecil yang sempat ia buat dari paper bag yang ia bawa sejak tadi.

      "Hari ini Rere bawain ini buat ibu, selamat ulang tahun bu, Rere selalu berdoa semoga ibu bahagia teus di sana, maafin Rere ya bu yang semasa ibu masih ada Rere gak pernah bikin ibu bahagia, yang ada malah bikin ibu sedih mulu. Ibu pernah bilang ke Rere kalo ibu pengen liat Rere menjadi sarjana bukan?" Rere menurunkan toga yang ia kenakan dan meletakannya di atas gundukan tanah tersebut "hari ini impian ibu udah terwujud, Rere udah jadi sarjana, bahkan menjadi wisudawan terbaik dengan beasiswa bu, ibu bener, yang ibu bilang bener, kita harus yakin kalo gak ada yang mustahil bagi Tuhan ya bu, hari ini Rere pidato panjang lebar di depan banyak orang loh bu, sendirian hehe, yang lain itu pada manggil orang tuanya buat ke depan terus pidato bareng, tapi Rere udah gak bisa lagi kayak mereka ya bu.Tapi gapapa Rere tetep seneng karena impian ibu untuk menjadikan anaknya sebagai wanita berpendidikan setidaknya udah terwudud, hari ini, di hari ulang tahun ibu Rere kabulkan impian terbesar ibu. Terimakasih ibu atas semua jasa ibu selama ini Rere sayang banget sama ibu" setelah itu ia membalikan badannya dan melihat makam di sebelahnya, makam ayahnya.

          "Rere juga sayang ayah, terimakasih ayah, Rere sayang kalian semua"setelah mengatakan hal itu ia tertidur di antara dua makam kedua orang tuanya.

 

***

              

          Nurul terbangun dari tidurnya karena merasakan ada sentuhan lembut di bahunya, tertidur di atas meja belajarnya dengan lap top yang masih menyala, sepertinya ia tidak sengaja tertidur saat baru saja selesai menyelesaikan naskahnya.

          Ia menggeliat untuk merengangkan otot ototnya. Nurul mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memperjelas arah pandangnya, ia menoleh ke samping dan langsung di sambut oleh senyum manis Iis, ibunya.

          Iis mengusap pelan puncak kepala sang putri "sayang.. kenapa bisa ketiduran di sini, yuk pindah dulu" ucapnya dengan lembut.

          "hehe iya bu"

          "oh iya barusan saat kamu masih tertidur ibu tidak sengaja melihat naskahmu yang ternyata baru saja selesai, setelah itu karena ibu penasaran ibu baca saja. Ibu sampai nangis membacanya nak, tapi kenapa kamu buat naskah mu itu menjadi sad ending sayang?"

          Saat mendengar itu tangan Nurul terulur mengambil tangan sang ibu untuk ia genggam, ia melempar senyum tulus pada ibunya "maaf bu, Nurul membuat ceritanya menjadi sad ending, dengan ibunya yang meninggal di akhir. Tapi niat Nurul membuat ending yang seperti itu bukan untuk mendoakan ibu agar cepat kembali ke pangkuan sang kuasa, namun Nurul membuat ending yang seperti itu untuk menyadarkan para pembaca Nurul betapa penting dan berartinya peran dan jasamu, ibu."

        Iis membalas senyum putrinya tak kalah tulus sebelum ia mengangguk dan mencium kening sang putri.

                                                

~ TAMAT ~

 

 

Hujan Abadi

 


Hujan Abadi

Penulis : Tyara Khumaira Azzura

 

 “Bukannya hujan itu rahmat ya, Nek?” tanya seorang gadis kecil yang sedang menemani Neneknya berbaring di ranjang Rumah sakit. Ia melihat ke arah jendela betapa lincahnya air berjatuhan mengguyur Kota Tsurui. “Iya bener, kenapa gitu?” tanyanya balik. Sang Nenek heran melihat cucunya yang tiba-tiba bertanya hal tersebut.

    “Enggak Nek, Tata cuman nanya doang kok!” gadis kecil itu bernama lengkap Ruita Ame. Ditinggal saat masih balita oleh Ayah dan Ibu memang cukup menyakitkan bagi anak yang belum tahu apa-apa. Terlebih hanya ditemani Kakak dan Nenek.

     Ruita melihat ke arah jendela, ia dikejutkan oleh air yang melompat layaknya ikan. “Hah? Itu apa?” monolognya. Gadis kecil itu kemudian menggelengkan kepala menyangka itu hanyalah sugesti biasa.

      Ruita teringat sesuatu, “Kenapa kalo Tata liat hujan, suka keinget Ibu? padahal Tata lupa muka Ibu kayak gimana,” Ruita bertanya dengan mata birunya yang memancarkan aura kesedihan. Melihat cucunya tengah bersedih, Nenek mencoba untuk menenangkannya, “Nanti Nenek ceritain Ibu, ya?” Mengelus rambut cucunya lalu ia bergumam, “Semoga Tuhan masih memberiku umur panjang.”

 

***

        Beberapa tahun kemudian

 a  Ruita memandang sedih ke arah batu nisan milik Nenek nya, gadis itu mendongak ketika merasakan air hujan yang menyentuh kening nya. Ia menghembuskan nafas gusar, "Huh.. hujan lagi?" Ruita mengarahkan tangannya ke arah langit, meremasnya, seolah sedang menangkap air itu.

      "Semenjak Nenek ga ada, jadi sering hujan. Kayaknya alam tau kalo Nenek nya Tata udah gak ada, bahkan Nenek belum sempet nyeritain Ibu. Tau gak? Abang pergi juga Nek, dia takut sama kota ini." Perasaan Ruita becampur aduk. Antara kesal, sesal, marah, geram bercampur menjadi satu. Gadis itu terisak.

    Isakan gadis tersebut semakin kuat seiring berjalannya waktu dan juga hujan yang semakin deras mengguyur kota tersebut.

   Setelah hujan mulai mereda, Ruita mencoba berdiri guna merilekskan badannya yang pegal akibat duduk terlalu lama tanpa ampar. Gadis itu menyapukan pandangannya ke sekitar pemakaman tersebut, dilihatnya seorang lelaki sedang berjongkok menghadap kuburan yang entah itu milik siapa. Saudaranya mungkin? pikirnya.

  Membulatkan tekad, gadis itu menghampiri ke arah lelaki tersebut. Ditepuknya pundak lelaki itu, dan ia dikejutkan dengan penampilannya, yang mungkin agak.. kurang enak dipandang? rambut yang acak-acakan, mata sembap, dan baju yang tidak layak untuk dipakai. "Hai? nama lo siapa?" tanya Ruita dengan raut wajah khawatir. Lelaki itu hanya menggeleng, "It's okay kalo lo gak mau jawab, gue boleh tau rumah lo dimana?" tanyanya lagi. Ternyata Ruita masih tetap tidak diberi jawaban. Gadis itu menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh milik lelaki misterius disampingnya.

     "Lo seumuran sama gue gak sih?" tanyanya lagi dan lagi.

  "Mungkin." lirih lelaki yang sedang mencabut rumput liar yang tumbuh disekitar batu nisan yang ada dihadapannya. Ruita mengembangkan senyumnya dikarenakan pertanyaan yang ia lontarkan berhasil dijawab meski singkat. Kedua insan itu saling terdiam dengan pikiran masing-masing, sampai...

     "Ayo, ikut gue ke rumah!" ditariknya pergelangan tangan lelaki tersebut dan berjalan keluar dari area pemakaman.

 

***

 

    Sesampainya di kediaman Ame, gadis itu langsung menuju ke arah dapur untuk mengambil air putih, bukan untuk dirinya. Melainkan untuk lelaki misterius itu.

      "Nih, minum dulu. Gue tau pasti lo capek, kan? maaf, rumah gue emang rada jauh." tawarnya sembari menyodorkan segelas air putih.

    "M-makasih." jawabnya, setelah menerimanya, lelaki itu langsung meminum isinya hingga tandas. Ruita mendudukkan bokongnya didekat manusia yang ia tak kenal siapa. Dengan rasa penasaran yang tinggi, Ruita mencoba menanyakan 'lagi' nama lelaki itu, tak lupa seraya mengulurkan tangan milik gadis tersebut tentunya.

    "Maaf, nama lo siapa? biar lebih enak aja kalo mau manggil."

    "Norman." lirihnya, tanpa menerima uluran tangan Ruita.

    "Emm.. salam kenal ya? gue Ruita Ame, manggilnya gimana?"

    "Sesuka lo." Ruita dibuat bingung oleh jawaban Norman. Tapi tak apa, bagi orang yang baru kenal pastinya canggung bukan? "Mau gue anter ke kamar?" ajak Ruita sembari menarik pelan pergelangan tangan Norman, dan ya! lelaki itu menerimanya.

  Setelah diantar ke kamar, Ruita segera menyiapkan makan malam dikarenakan bulan sebentar lagi akan menampakkan wujudnya. Saat semuanya sudah siap, saatnya gadis itu memanggil 'teman baru' nya yang sedang istirahat sejenak di kamar milik Kakaknya, mencapai anak tangga terakhir, Ruita mendengar suara barang terjatuh.

  BRAK..

"Kayaknya barang gede." Ruita mempercepat langkah menuju kamar, saat membuka pintu ia terkejut lantaran tubuh Norman sedang tidak ditutupi apapun, alias telanjang. "AAAAAA!!" pipi Ruita berubah merah layaknya udang rebus, ditariknya handle pintu sampai membuat suara yang memekakkan indra pendengar. Norman yang melihatnya hanya bisa memasang raut wajah bingung. "Apaan sih? cuman mau ngambil baju doang, btw bajunya bagus, pasti punya Abang nya" ucap Norman.

   Disisi lain, ada gadis yang sedang menahan malu di dapur, tiada lain dan tiada bukan ialah Ruita Ame. Gadis itu sibuk dengan pikirannya yang sedang berkelana jauh, "Astaga.. mata gue masih sehat kan? malu banget sumpah, gimana gue bisa makan sama dia? masa gue makan duluan sih?" gadis itu meremas bajunya kuat hingga terlihat kusut. Ruita menoleh saat ia mendengar ada yang memanggil namanya, "Ruita." panggil lelaki dengan sebutan Norman itu.

   Norman melangkahkan kakinya mencari keberadaan Ruita, "Y-ya? apa Norman?" jawabnya gugup. "Laper," ujarnya. "Ayo m-makan yuk!" Ruita menghampiri Norman yang berjarak beberapa meter dari tempat ia berdiri, diraih tangan dingin Norman untuk menghampiri meja makan, mereka duduk, membaca do'a sesuai kepercayaan masing-masing, dan memakan makanan yang tersedia tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring.

   Setelah makan malam, waktunya untuk bersantai bukan? tapi itu berlaku hanya untuk orang-orang biasa, tidak berlaku untuk kedua insan ini, mereka duduk di sofa dan saling melempar pandang satu sama lain tanpa ada seorangpun yang memulai obrolan.

   Sampai tiba saatnya untuk Norman memberanikan diri memulai percakapan.

 "Ruita?"

 "Hm?" gadis itu menoleh saat Norman memanggilnya.

 "Gue tau tujuan lo bawa gue kesini. Lo mau ngajak gue bikin rencana, kan?"

Tepat sasaran! Ruita terlihat panik tapi memang benar gadis itu berniat untuk merancang rencana dengan lelaki ini, dan sialnya ia dibuat kaget dengan tatapan nya yang tidak biasa. Nerawang masa depan, ya? batinnya. Gadis itu akhirnya angkat tangan tanda menyerah.

  "Tau dong? yah.. kalah, tapi gak apa. Lo mau kan bikin rencana sama gue?" gadis itu mengangkat alis sembari melemparkan senyuman miring, senyuman yang dapat menghipnotis jiwa Norman. Lelaki itu tercengang beberapa detik sampai ia menggelengkan kepala mencoba untuk sadar.

   Setelah itu, Norman menganggukkan kepala guna menyetujui tawaran Ruita.

"Bisa, tapi sebelumnya gue pengin tau tentang hidup lo. Boleh?" soalnya gue pengin tau langsung dari mulut lo tanpa tau dari kekuatan gue, sambungnya dalam hati. Ruita menghembuskan nafas dan mulai bercerita.

"Jadi, bisa dibilang gue terlahir dari keluarga yang 'ada', tapi keluarga gue gak lengkap. Ayah sama Ibu meninggal karena kecelakaan pas mau nganter gue ke Posyandu. Abang gue pergi karena takut sama kota ini yang sering hujan, Nenek gue meninggal karena penyakit sialan. Namanya penyakit jantung iskemik."

  Ruita menahan tangis, untung saja gadis itu langsung mengusap air matanya. Ruita menoleh ke arah Norman, "Lo?" lirihnya, Norman tersadar dari lamunannya, "Oh ya! g-giliran gue ya?" lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Yaudah mulai.. Jadi gue terlahir dari keluarga yang kurang 'ada', gue tinggal di kampung, bonyok gue sering berantem dan gak pernah akur, kenapa bonyok gue gak cerai aja coba? gue dianggurin terus, dikasih makan pun jarang. Gue pernah ngeluh karena gak ada makanan di meja, terus bokap gue nyuruh gue buat nyuri, miris ya? dan yang lo liat tadi siang di pemakaman itu, itu Adik gue. Dia meninggal karena nolongin nyokap yang mau ditusuk." Norman bercerita seperti tidak ada kesedihan didalam ucapannya itu. Tak terasa mereka saling bertukar cerita sampai pukul satu dini hari, dirasa sudah mengantuk Ruita bangkit dari duduknya.

  "Besok aja kita bahas rencananya. Oh!, lo tidur di kamar yang tadi. Selamat malam."

final gadis itu, dan melenggang pergi meninggalkan lelaki tersebut. Norman mengangguk, "Selamat malam juga, Nona."

 

***

 

Sinar matahari mulai mumunculkan diri, waktunya untuk membangunkan para manusia yang tengah sibuk dengan mimpinya masing-masing. Ruita terbangun dikarenakan gorden kamarnya dibuka oleh seseorang dan Norman-lah pelakunya. Gorden yang dibuka oleh Norman membuat sinar matahari memaksa untuk masuk guna mambangunkan Sang Putri Tidur.

  Gadis itu mengerjapkan mata berkali-kali seraya menguceknya. Norman menoleh ke arah Ruita yang terlihat lucu dengan muka bantal yang gadis itu ekspresikan.

  "Lucu." lirihnya, tentu saja Ruita tidak mendengarnya karena suara yang Norman keluarkan teramat pelan. "Norman.." Norman tak menggubriskan panggilan dari Ruita lantaran tengah sibuk melipat selimut dan membereskan bantal bekas pakai Ruita.

  Norman meraih tangan Ruita untuk mengajaknya berdiri, Ruita hanya menurut saja  karena malas untuk berbicara, dan kantuk yang terus mencoba untuk menutup matanya.

"Ayo bangun, gue udah buatin onigiri. Lo pasti suka." ajak Norman, Ruita mengangguk sebagai jawaban.

  Setibanya di Dapur, Norman menuntun Ruita untuk duduk di kursi yang telah tersedia disana, lalu Ruita disodorkan segelas air putih untuk menyegarkan tenggorokan sebelum makanan yang terlebih dahulu masuk. Ruita menerimanya lalu meminumnya dengan mata yang masih tertutup rapat. "Udah jam delapan, dan lo masih merem? gue di Rumah bangun jam lima pagi buat nyiapin makan Adik gue sama bonyok gue, walaupun kadang gak disentuh sama sekali. Dan sekarang gue mau nyobain rasanya makanan buatan gue buat dimakan sama orang lain, meskipun itu bukan keluarga gue sendiri." kantuk yang menyerang Ruita sirna begitu saja ketika mendengar penuturan yang Norman lontarkan. "Nih. Kalo mau lagi, tinggal bawa aja." onigiri yang telah dibuat sedemikian rupa ditambah sepasang mata yang terbuat dari rumput laut tersebut berhasil memancing rasa lapar gadis yang tengah menatap meja makan itu, setelah berbincang santai, keduanya melahap onigiri yang menjadi sarapan kedua manusia yang berawal asing dan dingin, telah menjadi kenal dan hangat antar keduanya. Onigiri itu habis tak tersisa didalam piring khas penduduk Jepang tersebut.

"Abis ini lo mandi, terus kita ke cafe deket sini. Kita bicarain rencananya disana." titah Ruita. Norman membalasnya dengan anggukkan sembari memamerkan senyumannya. "Siap Putri."

   Sesudah mereka menyelesaikan acara membersihkan tubuh, keduanya langsung memasuki mobil milik Ruita dan pergi meninggalkan rumahnya dengan dipenuhi kenangan tersebut.

 

***

 

Hanya butuh 30 menit saja untuk sampai di cafe tersebut, cafe dengan bertuliskan 'Lamp Caffe', tentu cafe itu dipenuhi lampu remang-remang, menambah kesan tenang. Tempat yang pas untuk mengerjakan tugas atau sekedar berbincang. Kedua insan itu duduk di bagian pojok guna pembahasan mereka yang bersifat rahasia ini tidak ada yang mendengar.

   "Jadi gimana?" tanya Norman.

   "Mau mesen dulu, bentar." Norman menghembuskan nafas mendengarnya.

   "Ya, sana. Pesenin juga buat gue." Ruita mengangguk sebagai balasan. Mereka memesan menu yang sama, yaitu Sakura tea. Hanya beberapa menit menunggu pesanan mereka, keduanya menunggu sembari membahas hal yang tidak penting, seperti saat di perjalanan, Ruita melihat kucing yang sedang meminta makanan di warung, anak bebek yang menyeberangi jalan, dan lain-lain yang mampu membuat mereka tertawa.

  Sakura tea sudah berada di meja mereka, saatnya mereka membahas rencana yang akan membuat energi keduanya terkuras saat mengerjakan rencana tersebut.

   "Gini, gue pgn berhentiin hujan ini, kayak nya udah banyak yang mulai pergi dari kota ini deh, gimana caranya? masa kita harus ke dunia Dewa Dewi dulu?" Ruita memulai pembicaraan dengan serius.

   "Gak usah, gue takut kalo kita kesana, malah di musnahin hahahaha. Gue gak tau cara ngomongnya." Norman menanggapinya dengan candaan, gadis itu kemudian mencubit lengan Norman, membuat lelaki itu mengeluarkan ringisan kecil, bukan cubitan biasa batinnya. "Serius Norman!" Ruita dibuat kesal oleh tingkah Norman yang seolah-olah tidak menghargai Ruita saat di mode serius. Norman tersenyum kikuk kala melihat mimik wajah kesal Ruita, lalu Norman mencoba menerawang masa depan dengan kekuatannya, Ia hanya melihat sebuah Kuil. dan itu adalah Kuil tertua di Jepang, bernama Kuil Gango-Ji. "Cuman ada Kuil Gango-Ji yang gue liat, kita harus kesana." ajak Norman. Ruita mengangguk samar, terlihat dari raut wajahnya yang kusut akibat jarak dari tempat mereka dengan jarak Kuil itu sangatlah jauh, ditambah hujan deras yang sedang melanda kota tersebut, tapi Norman berusaha untuk membujuk Ruita dan meyakinkan dirinya bahwa tidak akan ada salahnya jika mencoba untuk kesana, karena lelaki itu tahu bahwa kekuatannya tidak akan meleset, bahkan belum pernah ada kejadian dimana kekuatan menerawang masa depan milik Norman itu meleset sedikit atau pun salah.

   Norman mencoba menghibur gadis yang sedang cemberut itu dengan mengelus pucuk kepalanya, Ruita merasa lebih baik dari sebelumnya. Setelah itu, Norman menarik pelan pergelangan tangan yang terasa mungil bagi lelaki itu. "Ayo kita kesana, gantian aja nyetirnya, gue pernah di ajarin bawa mobil. Gak usah takut, ya?" bujuk Norman, Ruita tersenyum lalu mengangguk, "Iya, harus janji." gadis itu mengulurkan jari kelingking nya lalu diterima oleh Norman, mereka menautkan kedua jari kelingking tersebut. Setelah itu, mereka pergi membayar dan langsung melanjutkan perjalanan.

 

***

 

Perjalanan memakan waktu kurang lebih dua jam, dan giliran Norman yang mengambil alih setir mobil, mungkin yang Norman pikirkan saat ini mengenai mimik wajah Ruita adalah lelah, dan pegal.

  Tibalah mereka di sebuah kuil tertua di Jepang, untung saja tidak ada orang banyak yang sedang mengunjungi nya. Mereka keluar dari mobil dan melangkah mendekati kuil itu berada. Tatapan Ruita teralihkan saat melihat ada seekor rubah ekor sembilan dengan warna bulu keemasan itu berjalan menghampiri keduanya, alangkah terkejutnya ia saat melihat rubah itu berubah menjadi seorang wanita cantik dengan kimono yang melekat di tubuh ramping miliknya.

   "Selamat datang di Kuil Gango-Ji, ada perlu apa?" tanya wanita rubah itu dengan suaranya yang amat lembut.

   "Kami ingin memanjatkan do'a, apakah masih beroperasi Kuil ini?" Norman mewakili Ruita yang hendak berbicara, gadis itu berdecak malas dibuatnya.

   "Tentu saja! biar saya antar." wanita rubah itu berjalan mendahului Norman dan Ruita, mengundang banyak tanda tanya di benak mereka. Sesampainya di dalam kuil, mereka dihidangkan segelas uroncha atau kerap disebut oolong tea.

   "Sebelum kalian berdo'a, lebih baik kalian meminum uroncha terlebih dahulu, silahkan." Norman dan Ruita saling melempar pandangan sebelum meminum teh tersebut. Gelas yang tadinya berisi uroncha, sekarang sudah habis ditelan kedua insan itu, "Uroncha-nya the best lah! gak bohong gue," Norman memberikan komentar positif seraya menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah terangkat seperti huruf V. Wanita Rubah itu terlihat senang, ia mengambil gelas kosong dari genggaman Norman dan Ruita untuk disimpan ke nampan tempat asal gelas itu diletakkan. "Silahkan panjatkan do'a kalian, pasti Kami-sama akan langsung mengabulkannya, saya pamit dulu." Pamit wanita rubah tersebut, dan segera meninggalkan tempat Norman dan Ruita berdiri saat ini.

  "Semoga do'a kita dikabulkan." telapak tangan Norman menyatu, tanda berdo'a dimulai, Ruita mengangguk dan melakukan hal yang seharusnya dilakukan saat datang ke Kuil. Mereka berdo'a dengan tujuan yang sama, yaitu menghentikan hujan yang terus menerus turun ke kota itu.

  Kami-sama, tolong berikan saya kekuatan untuk menghentikan hujan ini, semoga usaha saya dan gadis di samping saya tidak sia-sia. Kami mohon, Kami-sama.. Batin Norman, lelaki itu berdo'a sembari sesekali melirik ke arah Ruita, gadis itu juga terlihat sangat serius, membuat Norman terkekeh kecil dibuatnya.

  Lima menit terasa lima jam bagi mereka di dalam kuil itu, saat mereka ingin keluar dari kuil tersebut, terlihat ada secercah cahaya menghampiri, mereka berfikir itu adalah kedatangan wanita rubah yang tadi, ternyata bukan.

  Ruita mencoba menangkap cahaya tersebut yang sedang berputar-putar mengelilingi mereka. Saking cepat Ruita mengejar, semakin cepat pula cahaya itu menjauh, membuat Norman dan Ruita pusing melihatnya.

  "Apaan sih? cahaya nyusahin!" Ruita meninju udara dengan perasaan kesal.

  "Sabar, siapa tau kalo lo diem, nanti cahayanya berhenti." saran Norman.

Ternyata benar apa yang Norman ucapkan barusan, belum lama setelah itu cahaya yang sedang berputar seketika berhenti di hadapan mereka, cahaya tersebut berubah menjadi bola air.

  Saat Norman ingin menyentuhnya, bola air itu lagi-lagi berubah menjadi seekor naga air. Mereka tentu saja terkejut, Norman menyenggol lengan Ruita. "Naga?" tanyanya tak percaya saat melihat fenomena ini. Keringat gadis itu bercucuran, ditambah dengan perasaan takut, Ruita menggeleng menjawab pertanyaan yang Norman lontarkan. "Gak tau, takut Man." jawabnya seraya meremas ujung pakaian yang sedang dikenakan oleh Norman.

  Naga tersebut memberi isyarat kepada Norman dan Ruita untuk menungganginya. Norman terlihat santai saat hendak menaiki punggung naga itu. Namun tidak dengan Ruita, gadis itu ketakukan melihat sosok naga yang besar dan mungkin menyeramkan?

  Norman menghembuskan nafas, lelaki itu mengulurkan tangan yang dibalas tatapan tidak yakin yang dibuat Ruita. "Kalo jemping, gimana?" Norman menggelengkan kepala seraya terkekeh melihat raut wajah Ruita yang menurutnya lucu, "Kok bisa mikir gitu? enggak lah! kayaknya ini cara Kami-sama nolong kita. Gue yakin." lelaki tersebut meyakinkan Ruita dengan cara menatap mata gadis itu yang berkaca-kaca, "Jangan takut." Norman berbisik tepat di telinga kanan Ruita, membuatnya merinding ketika mendengar suara berat yang lelaki dihadapannya ini keluarkan.

  Norman memanfaatkan momen yang ada dengan mengangkat tubuh mungil gadis itu untuk duduk didepannya. "Biar cepet." ujarnya, Ruita yang diangkat seperti itu tentu kaget atas tingkah Norman, "Nyebelin!" gadis itu memukul-mukul lengan kekar milik Norman.

  Dirasa sudah lama drama yang membuat naga ini menunggu, barulah Norman menepuk sisi punggung naga itu, "Ayo, kita berangkat." naga itu mengangguk lalu keluar dari Kuil dan terbang perlahan ke arah langit, terlihat percikkan air yang dikeluarkan oleh naga tersebut. "Ke langit? ngapain?" Ruita berbalik dan bertanya kepada Norman, "Liat aja, semoga ini pertanda baik."

  Mereka tiba di langit, naga itu menurunkan mereka di awan, lalu pergi dari sana. Norman dan Ruita berfikir mereka akan jatuh saat menapak awan, ternyata dugaannya salah. Awan yang menjadi pijakkan, terasa seperti kapas dengan jumlah banyak ketika diinjak.

  Tak jauh dari tempat mereka berdiri, mereka melihat ada berbagai tombol terbuat dari awan, Norman melirik ke arah Ruita dan mengangguk, gadis itu membalasnya dengan anggukkan yang sama. Mereka berlari ke arah tombol itu.

  Setelah sampai, Ruita kagum melihat berbagai macam tombol di hadapannya, "Ohh, ini cara setting cuaca?" monolognya, "Ternyata disini tombol 'hujan' nya gak di matiin, jadinya hujan terus." pikir Norman, jemari Norman terulur untuk menekan tombol 'cerah' disamping tombol 'hujan' itu.

  Satu menit berlalu dan hujan pun mereda dibawah sana. Keduanya menghembuskan nafas lega karena usaha nya tak sia-sia. Norman mengajak Ruita untuk melakukan tos, dan gadis itu menurutinya. "Good job!" ujar keduanya kompak. Kedua manusia itu tertawa lepas karena bahagia.

  Setelahnya, Norman berlutut dihadapan Ruita dengan raut wajah kemerahan menahan malu. Lelaki itu mengulurkan tangan dengan membawa bunga mawar yang terbuat dari awan, dia mengumpulkan sedikit demi sedikit awan yang mereka lewati saat di perjalanan menuju kemari.

   "Gue.. gue mau ngucapin terima kasih sebanyak-banyaknya sama lo, lo udah ngebantu gue, bahkan sampai di titik ini. Gue pengen lo jadi partner gue. Partner gue buat mecahin segala teka-teki kisah kita nanti." ungkap lelaki tersebut. Ruita tercengang mendengarnya. Dengan tangan yang gemetar, gadis itu menerima bunga mawar tersebut dan menggenggamnya erat.

  "Seharusnya gue yang berterima kasih ke lo, Emm, gue.. mau jadi partner lo. Walau pertemuan kita singkat, mungkin akan menjadi pertemuan yang bersejarah. Semoga saja." Mungkin bagi kalian, cara bertemu mereka itu sedikit konyol. Namun bagi mereka, terutama Norman, ia bisa mendapatkan kehangatan dan kebersamaan walaupun bukan dari keluarga sendiri. Hidup akan berputar layaknya roda, akan ada saatnya kita berada diatas, di puncaknya. Dan itu yang sedang dirasakan keduanya.