Al Muhasibi dan Etika Ekonomi


Al Muhasibi dan Etika Ekonomi

Penulis : Irfan Soleh


Malam minggu saya isi dengan membaca buku yang berjudul Jika Tuhan Mengatur Rezeki Manusia, Mengapa Kita Harus Bekerja? Memahami Ketentuan Rezeki, Meraih Ketenangan Hati. Buku hasil terjemahan dari Kitab Al Makasib karya Imam Al Muhasibi, Mahaguru Para Sufi (781-854 M). Prof. H. Abdul Kadir Riyadi, Ph.D dalam pengantar ahli nya memaparkan bahwa Kitab Al Makasib bisa dikategorikan pada buku rujukan Etika Ekonomi padahal pada masa itu Ilmu Ekonomi belum berkembang masih terbatas pada Kitab Al Buyu dalam Ilmu Fiqih seperti yang dibahas Imam Syafi'i dalam Kitab Al Umm. Bagaimana seharusnya kita bertawakal kepada Allah SWT? Apa saja ketentuan dalam mencari rezeki? Mengapa kita perlu bekerja? Yuk Kita bahas ringkasan jawabannya

Allah SWT menjamin dan membagi rezeki diantara manusia dan meletakannya di banyak tempat sesuai catatan Lauhul Mahfuzh. Banyak ayat al Qur'an yang membahas tentang rezeki seperti misalnya QS Az Zukhruf ayat 32, QS Ar Rum ayat 40, QS Hud ayat 6, QS al Ankabut ayat 60 dan Adz Dzariat ayat 22-23. Setelah memberitahu bahwa rezeki tiap makhluq dijamin, Kemudian Allah SWT memerintahkan untuk bertawakal kepada-Nya sebagaimana yang tercantum dalam QS al Maidah ayat 11 dan QS Ibrahim ayat 12. Kita harus bertawakal dengan cara mempercayai dan membenarkan bahwa Allah SWT yang telah membagi rezeki, mencukupi kebutuhan dan membukakan jalan untuk mencari nya

Orang yang bekerja, menurut Imam Al Muhasibi, tidak dianggap melalaikan kewajiban untuk bertawakal kepada Allah SWT sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur'an, Sunnah Nabi dan kisah hidup para sahabat r.a, meskipun ada sekelompok orang yang berpandangan bahwa tawakal hanya akan tertanam saat seseorang tidak melakukan ikhtiar dalam mencari rezeki. Pandangan itu bertentangan dengan apa yang dicontohkan para Nabi. Nabi Muhammad SAW pernah pergi ke Syam untuk berdagang, Nabi Musa menggembalakan kambing (QS Thaha ayat 17-18), Nabi Syu'aib juga bekerja (QS al Qashash ayat 27), Nabi Daud pun bekerja sebagai pandai besi (QS Saba ayat 10-11) dan masih banyak lagi contoh lainnya

Al Qur'an, sunnah, serta ijma para ulama telah menjelaskan bahwa manusia harus bekerja sesuai dengan perintah Allah SWT tentu pekerjaan yang tidak melanggar batasan syariat sehingga pekerjaan tersebut membuatnya menjadi seorang yang wara, sangat berhati-hati dan bertaqwa. Pekerjaan yang tidak melupakan penyucian hati, berdzikir dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sehingga motif bekerja dan berikhtiar mencari rezekinya pun dalam rangka taat dan patuh kepada perintah Allah SWT. Para Sahabat dan orang sholeh mencontohkan bagaimana bekerja atau berusaha yang tidak merusak dzikir yang mereka pelihara dan tidak mengurangi kedekakatan hati dan tingginya spiritualitas mereka

Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim al-Azdi al-Bukhli, seorang ulama sufi dari Khurasan dan guru dari khatim al asham pernah mengatakan bahwa bekerja adalah perbuatan maksiat karena menyiratkan keraguan akan janji dan jaminan rezeki dari Allah SWT. Pandangan ini ditolak oleh Imam Al Muhasibi dengan beberapa argumen. Pertama, Allah SWT dalam al Qur'an malah memerintahkan agar makanan umat islam berasal dari hasil pekerjaan yang baik. Kedua, Rasulullah justru bersabda sebaik-baik rezeki adalah hasil jerih payahnya sendiri. Ketiga, Nabi dan Para Sahabat mencontohkan bekerja dan berusaha. Keempat, apa yang ditunjukan oleh ilmu tidaklah demikian. Sehingga semua argumen Syaqiq salah menurut Imam Al Muhasibi. Kesimpulannya Imam Al Muhasibi memberikan mindset dan cara yang benar dalam mencari rezeki atau etika yang benar dalam berekonomi, semoga kita bisa mengamalkannya...Amin...

Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis, 14 Mei 2023

Tidak ada komentar:

Posting Komentar