Mendiskusikan Tindak Kekerasan di Lembaga Pendidikan

"Mendiskusikan Tindak Kekerasan di Lembaga Pendidikan"

Penulis : Irfan Soleh

Pagi tadi, Kamis 20 Januari 2022, saya mengikuti rapat Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMAN/S Se-Kabupaten Ciamis. Pada rapat tersebut inti pembahasannya adalah menyikapi tindak kekerasan yang terjadi pada salah satu SMA Negeri ketika mengadakan salah satu ekstra kulikuler. Berita tindak kekerasan tersebut viral  diberbagai media sehingga melibatkan banyak pihak untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Tentu kejadian tersebut menjadi bahan pelajaran untuk kita semua namun kita tentu harus bisa menyikapinya secara bijak jangan sampai terjadi kekhawatiran yang berlebihan sehingga kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan tindakan kekerasan? Dan bagaimana cara mencegah tindakan tersebut? Apakah hukuman peraturan pesantren termasuk tindakan kekerasan? Yuk mari kita diskusikan.

Menurut Permemdikbud no 82 tahun 2015 Tindak kekerasan adalah perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka/cedera, cacat, dan atau kematian. Pada Bab III Pasal 6, tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan antara lain: Pelecehan, baik fisik, psikis atau daring, Perundungan, Penganiayaan, Perkelahian, baik adu kata-kata atau adu tenaga, Perpeloncoan, Pemerasan, Pencabulan, Pemerkosaan, Tindak kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan/atau antargolongan (SARA), Tindak kekerasan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undang.

Bagaimana cara mencegah tindak kekerasan?Pada Bab IV pasal 8, satuan pendidikan harus melakukan tindakan pencegahan kekerasan diantaranya dengan:1)Menciptakan, membangun dan mewujudkan lingkungan yang bebas dari tindak kekerasan. 2) Wajib melaporkan kepada orangtua/wali jika menemukan dugaan tindak kekerasan. 3) Wajib menyusun, menerapkan dan melakukan sosialisasi Prosedur Operasi Standar (POS) terkait tindak kekerasan. 4) Menjalin kerjasama dengan lembaga psikologi, organisasi keagamaan dan pakar pendidikan dalam rangka pencegahan. 5) Wajib membentuk tim pencegahan tindak kekerasan dengan keputusan kepala sekolah terdiri dari: Kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan siswa, perwakilan orangtua/wali dan 6) Wajib memasang papan layanan pengaduan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

Kejadian tindak kekerasan yang viral tersebut tentu membawa kekhawatiran termasuk ke wali santri yang menyekolahkan putra putrinya di Sekolah dibawah naungan Pondok Pesantren. Sekarang Mari kita diskusikan poin pertama saja terlebih dahulu yaitu menciptakan lingkungan yang bebas dari tindakan kekerasan dan kita kaitkan dengan Peraturan Pesantren. Kita ambil contoh ketika pengurus pesantren membangunkan santri untuk tahajud atau untuk shalat berjamaah misalnya, ketika sudah berkali-kali dibangunkan, diingatkan masih tetap belum berangkat ke mesjid atau mushola kemudian pengurus pesantren melakulan ta'jir (hukuman) bagi santri tersebut apakah itu termasuk tindak kekerasan? Ketika santri melakukan pelanggaran misalnya tidak mengaji atau keluar komplek tanpa izin kemudian dihukum apakah itu tindakan kekerasan? Ada memang konsep disiplin positif namun implementasinya tidak mudah sehingga yang terpenting adalah adanya kesepakatan antara santri dan pengurus terkait dengan peraturan pesantren.

Namun meskipun sebenarnya sudah ada kesepakatan antara pengurus pesantren dengan para santri terkait larangan, hukuman dan sanksi nya, tetap saja kemungkinan untuk menyalahkan pengurus pesantren sangat mungkin terjadi. Pengurus pesantren menjadi serba salah niat baiknya untuk mendisiplinkan santri menjadi jelek karena dianggap melakukan tindakan kekerasan. Sehingga perlu ada pembahasan khusus terkait dengan hukuman yang biasa diberikan di lingkungan pesantren jangan sampai niat baik untuk mendisiplinkan menjadi dianggap salah karena ada perbedaan persepsi, arti dan implementasi  yang berbeda terkait dengan istilah tindakan kekerasan. Semoga Kementrian Agama bersama Forum Pondok Pesantren bisa mendiskusikan permasalahan ini. Di tengah isu 'kekerasan' di lingkungan pendidikan kami justru mengajak santri putri sekaligus siswa Smait Irfani Qbs untuk jalan-jalan menonton film merindu Cahaya De Amstel, melihat bagaimana 'keras' nya kehidupan seorang khadija sampai ia mendapatkan hidayah dan Cahaya Islam.


Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis, 20 Januari 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar