Satu Abad NU; Fikih Tradisionalis, Fikih Pemberdayaan dan Fikih Peradaban



Satu Abad NU; Fikih Tradisionalis, Fikih Pemberdayaan dan Fikih Peradaban

Irfan Soleh


Saya lahir di sebuah desa yang secara praktik ibadah mengamalkan amaliyah NU seperti Qunut, Tahlilan dan lain sebagainya, meminjam Istilah buku KH Muhyiddin Abdusshomad praktik keagamaan tersebut dinamakan Fiqih Tradisionalis. Masyarakat yang secara amaliyah NU sering juga diistilahkan sebagai NU Kultural. Kemudian saya masuk NU Struktural melalui Madrasah Kader Nahdhatul Ulama (MKNU) dan diamanahi Wakil Ketua RMI NU Ciamis Bidang Ekonomi. Menjelang Harlah 1 Abad NU, PBNU menggelar Halaqah Fikih Peradaban di 250 titik Se-Indonesia. Tulisan ini berupaya membaca fragmen Transformasi Fiqih dari Tradisionalis ke Fikih Peradaban dan menurut Penulis ada satu fikih yang harus diperhatikan secara serius untuk menyokong Fikih Peradaban yaitu Fikih Pemberdayaan. Apa yang dimaksud dengan Fikih Tradisionalis, Pemberdayaan dan Peradaban?

Istilah Fiqih Tradisionalis penulis ambil dari sebuah buku karya KH Muhyiddin Abdusshomad yang berupaya menjawab tuduhan terhadap persoalan Praktik keagamaan keseharian yang di amalkan warga NU yang dianggap menyimpang jauh dari tuntunan dan ajaran Islam. Amaliah masyarakat NU dianggap kental dengan bid'ah, tahayyul dan khurofat. Isu-isu yang dibahas dalam Fiqih Tradisionalis masih seputar membaca basmallah dalam surat alfatihah, melafalkan sayyidina dalam tasyahud, qunut shalat subuh, mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud, mengusap wajah setelah shalat, Ziarah kubur, tahlilan dan lain sebagainya seputar praktik amaliyah ibadah warga NU. Energi era Fiqih Tradisionalis banyak terkuras menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan orang-orang yang menentang amaliyah warga nahdhiyyin.

KH Masdar Farid Mas'udi dalam sebuah wawancara dengan NU Online mengatakan bahwa Kerja NU Struktural seharusnya tidak hanya sebatas melaksanakan amaliyah NU Kultural namun juga kerja sosial yang tidak bisa dilakukan oleh para individual, yaitu membimbing umat dalam berbangsa, bernegara, membangun ekonomi umat, kesehatan, dan lainnya. Ide ini kemungkinan lahir dari gagasan Gus Dur tentang Rekontekstualisasi Kitab Kuning yang diluncurkan pada Muktamar ke-28 di Krapyak Yogyakarta karena Gus Dur menyerahkan kepada Kiai Masdar untuk menyelenggarakan Halaqah Rekontekstualisasi Kitab Kuning tersebut. Halaqah Fiqih Peradaban yang digaungkan Gus Yahya saat ini melanjutkan gagasan Gus Dur dimana menurut Gus Ulil tujuannya sama yaitu kontekstualisasi Fiqih agar bisa menjawab masalah-masalah peradaban baru yang bukan hanya yang dihadapi masyarakat Indonesia namun juga dunia

Menurut Penulis Visi Global PBNU Periode Gus Yahya dengan Fikih Peradabannya perlu di sokong dengan konsep Fiqih Pemberdayaan untuk memperkuat fundamental ekonomi warga nahdhiyyin Indonesia. Secara Bahasa Pemberdayaan berasal dari kata Empowerment sedangkan memberdayakan dari kata empower. menurut webster dan oxford english dictionary maknanya adalah memberi kekuasaan atau memberi kemampuan atau keperdayaan. Yulizar D Sanrego dan Moch Taufiq mengistilahkan fikih pemberdayaan dalam buku nya dengan Fiqih Tamkin. Menurut Buku tersebut, istilah tamkin dalam al Quran disebutkan sebanyak 18 kali dan mempunyai makna yang beragam diantaranya adalah kekuasaan, kemampuan atau kemenangan, keteguhan dalam agama dan pemberdayaan materi (harta dan kenikmatan dunia). dengan demikian, manusia akan memperoleh tamkin (berdaya) jika terpenuhi dua unsur baik materi berupa kebutuhan pokok, harta, kekuatan maupun non materi berupa agama dan keamanan.

Penulis buku fiqih tamkin memberikan ulasan mengenai model pemberdayaan (tamkin) Rasululloh SAW yang dibagi kedalam dua periode yaitu periode Mekkah dan Madinah. pada periode Mekkah konsep pemberdayaan nya lebih kepada ruhiyah atau non materi misalnya dengan mengokohkan akidah, konsisten untuk mendirikan shalat dan menanamkan kesabaran sedangkan pada periode Madinah tidak hanya non materi seperti sistem muakhah (persaudaraan antara muhajirin dan anshar) namun juga sesuatu yang bersifat materi yaitu berdagang atau berbisnis. Sehingga menurut penulis untuk menyokong visi global fikih peradaban hindari pertikaian, jalin persaudaraan dan harus diperhatikan, ditumbuhkan fikih pemberdayaan terlebih dahulu, tumbuhkan jiwa entrepreneur pada para santri, kyai, hidupkan entrepreneurship dilingkungan pesantren dan masyarakat. Ini yang sedang dan akan terus kami upayakan di RMI NU Ciamis. Karena ketika sudah berdaya secara ekonomi nantinya akan mempermudah dakwah gagasan fikih peradaban ke seantero dunia.


Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis, 4 Februari 2023


*Wakil Ketua RMI NU Ciamis

Pengasuh Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar